BARA

24 1 0
                                    


Perhatian demi perhatian dan hadiah yang bermacam-macam, semakin membuat Weni dekat dengan Zulham. Aku berusaha bijaksana menyikapinya meski suara hatiku mengisyaratkan sesuatu yg belum kupahami.

Hari berganti hari, minggu demi minggu terlewati. Di liburan semester ini Zulham sengaja tidak mengambil kuliah semester pendek. Lelah katanya dan ingin fokus pada proyek di kantornya. Sore ini seperti biasa Zulham bercumbu dengan gitarnya. Kiasan yang aneh. Tapi begitulah dia mengibaratkan gitarnya.

"Zul, sepertinya kamu lagi pdkt pada seseorang." Aku membuka percakapan. Suara gitar terhenti berganti tawa kecil Zulham.

"Maksud Mba?" Mataku terarah pada seseorang yang tengah asyik menyiram bunga.

"Weni???? Hahaha......Mba cemburu ya?" Gelak tawa Zul kian membahana melihat mataku mendelik.

"Hai, Cantik!! Jangan terlalu banyak menyiramnya! Bunga itu tetap kalah cantik kok denganmu," teriak Zulham.

Aku cubit lengan Zul sembari tersenyum pada Weni yang tampak tersipu. Zulham meringis kesakitan.

"Mungkin buatmu lucu. Tapi sebagai seorang wanita dan seorang ibu, aku membaca gelagat yang kurang baik pada Weni."

"Wah......Mba mulai melantur dari prinsip Mba. Don't judge the book by its cover, remember?" Rambut Zul yang sedikit gondrong tersibak mengikuti gelengan kepalanya yang tak setuju dengan ucapanku.

"Bukan itu maksudku. Weni memang seseorang yang unik yang diciptakan Allah dan hadir diantara kita untuk menguji keimanan kita. Dia teramat pantas dikasihi dan dicintai. Tapi apa kau yakin persepsi cinta kalian sama?"

Tak ada bantahan dari mulut pemuda berhidung mancung itu. Matanya bergantian menatapku dan gadis unik yang tengah asyik bernyanyi kecil di sela tugasnya.

"Ya sepertinya dia jatuh cinta padamu" aku menjawab tanya di matanya.

"Tapi......??"

"Tapi apa Zul? Orang yg memiliki kelainan genetik seperti Weni tak mungkin jatuh cinta? Tak paham asmara? Rindu atau cemburu? Kamu yang picik jika begitu. Down syndrome bukan penyakit yang mengerikan atau menjijikan. Mereka hanya terlalu lambat mengerti dan kurang pandai mengekspresikan diri. Selebihnya dia sama dengan kita. Ibarat komputer, di jaman sekarang kita punya procesor intel core generasi ke 8. Nah Weni masih pakai mikroprocesor. Bukan tidak bisa dipakai hanya tidak cepat, butuh waktu dan perlakuan khusus menggunakannya"

"Ah..asumsi Mba terlalu lebay dan mengada-ada. Nah kalo yang satu ini barulah belahan jiwaku."

Zulham beranjak dari kursinya mendekati gadis berbaju biru yang baru saja memarkirkan motornya di halaman rumahku.

Nadia asisten proyek Zulham di kantor. Dan otak jail Zulham bermain cantik demi memikat hati sang asisten. Ini kali ketiga dia datang dengan setumpuk berkas di tangannya. Alasan tak bermutu menjadikan wewenang sebagai jalur pelicin cinta. Zulham hanya tertawa seperti biasa mendengar kalimat sindiranku ini.

"Assalamualaikum," sapanya lembut.

"Waalaikumsalam, Sayang," timpal Zulham yang sontak membuat semburat merah di wajah gadis berkulit putih itu.

"Waalaikumsalam," sahutku.

Gadis itu menyalamiku dengan sopan. Senyumnya hangat, tatapan matanya teduh dan gaya bicaranya sangat santun. Kurasa Zulham akan beruntung jika bisa memikat hatinya dan aku merutuki sepupuku yang masih saja main-main soal cinta padahal kalau saja dia bisa berubah, aku akan rela menerima gadis ini sebagai pasangannya.

Rela???

Hei, kenapa aku berpikir seperti itu? Memangnya aku siapanya Zulham? Sampai harus menentukan siapa yang tepat jadi pendampingnya?

Aku menepis angan-anganku. Mengamati dari ujung rambut hingga ujung kaki gadis dihadapanku yang sedang asyik berbasa-basi dengan Zulham.

"Eheeem," dehem Zulham.

"Mba ga berniat melahap bulat-bulat Nadia, Kan?"

Aku terkejut dengan pertanyaan Zulham, kemudian tertawa.

"Maaf, Mba berasa kenal dengan...siapa namamu?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Nadia, Tante."

"Hahahaha...," tawa Zulham memecahkan kesunyian. Nadia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya atas respon Zulham. Aku memelototi Zulham.

"Sudah kubilang, Mba harus lebih sering bedakan, atau setidaknya pakai perona bibir, biar seperti abegeh," seloroh Zul ditengah tawanya.

"Aduh maaf, Tan...eh...Bu...Ka...eh...."

Zulham kian terbahak-bahak melihat Nadia yang salah tingkah dengan raut wajah pucat.

"Mba sengaja ga berdandan di rumah biar orang-orang tahu kamu itu anak mami yang wajib dijewer karena sering gangguin anak gadis orang," ujarku sambil menjewer kupingnya.

"Aduh, Mba. Bisa jomblo seumur-umur aku kalau begini caranya," keluh Zul sambil memegangi telingganya yang tampak memerah.

"Baguslah, daripada bikin malu Mba sama kelakuan playboy cap botolmu itu," timpalku.

Tangan Zulham menangkup telinga Nadia dan mengarahkan wajahnya hingga mereka beradu tatap.

"Kamu tak harus mendengar rutukan nenek lampir itu, Sayang. Dia hanya cemburu karena kamu secantik bidadari di surga."

Buukk!!

Buku di tanganku telak menghantam punggung nya membuatnya terhuyung dan berusaha memeluk Nadia agar tubuhnya tak terjatuh. Nadia mundur beberapa langkah menghindari pelukan Zulham.

"Aduh, Mba. Kurang keras dorongnya, nanggung nih meluknya."

"Dasar modus."

Zulham kembali tertawa mendengar gerutuku. Nadia mulai mengerti dengan sikap konyol kami. Dia tersenyum.

"Sudah...sudah...Mba...Ampun. Wajahku ini ga sempet diasuransikan nih kalau lecet," jeritnya sambil menutupi wajahnya.

Kuhentikan aksiku. Lalu menatap Nadia yang mematung sambil tersenyum.

"Maaf, ya. Nadia. Bosmu ini harus sedikit diberi pelajaran agar pe de nya ga overdosis. Mba ga mau dia jadi penganut aliran sesat."

"Aku memang sudah tersesat dihatinya, Mba," celetuk Zulham sambil melirik Nadia. Yang dilirik tertunduk menutupi wajahnya.

"Zul...!!"

Zulham menarik lengan Nadia mengajaknya masuk ke dalam menuju ruang tengah. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

Dari sudut mataku kusadari seseorang tengah menatapku. Weni. Ah, ya, aku hampir lupa, dia pasti melihat semua adegan itu. Ada sedikit rasa bersalah di hatiku. Hmmm, memangnya kenapa? Bukankah tak ada yang salah dengan sikap kami tadi?

"Weni, tolong buatkan minuman dan ambil cemilan buat Zul dan tamunya, ya! Makasih," pintaku.

Weni mengangguk kemudian berlalu dengan wajah tertekuk. Aku menghela nafas. Rasa itu kembali hadir.

Aku berjalan menuju kamar kerjaku melewati ruang tengah tempat Zul dan Nadia berada.
Kulihat mereka asyik terlibat pembahasan seru seputar proyek mereka. Sesekali kudengar godaan nakal Zulham yang ditimpali tawa manja Nadia. Cinta tak perlu diungkapkan, sinyalnya akan bergetar kuat saat belahan jiwanya ditemukan.

"AAAAH....!!!" Teriakan Weni di ruang depan diikuti kalimat ishtigfar Zulham membuyarkan lamunanku.

Kakiku melangkah mendekati keramaian. Zulham berdiri di samping Nadia. Tangannya menyodorkan berlembar-lembar  tisu sambil tak henti-hentinya meminta maaf. Dihadapan mereka Weni berdiri mematung. Nafasnya memburu, tangannya bergetar hebat menggenggam cangkir yang isinya telah berpindah di tubuh Nadia. Dari semua keadaan ini mata weni lah yg kutakutkan dan kucemaskan. Sorot mata tajam yang meneriakkan genderang perang.

Rasa itu hadir lagi. Kini semakin kuat bagai bara yang kian membakar. Ada yang lebih menakutkan dari rasaku sendiri. Bara di mata Weni yang seakan berteriak :

Pergi kau Jalang!!!
Tak kau lihatkah di dahinya stempel jiwaku???


Weni (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang