15. Kembali

78 10 0
                                    

Mata gue kembali memanas kala mengingat bagaimana kedekatan dengan Renata dulu. Apalagi ketika mengingat pertemua tiga tahun yang lalu yang sama sekali Natt tak tahu.

Setetes air bening kini sudah meluncur bebas di pipi.

Sial! Kenapa gue jadi secengeng ini?

Buru-buru gue mengusap air mata sialan ini. Tapi diluar kendali, justru air mata lainnya malah meluncur lagi.

Gue menghela napas berat sembari menutup mata. Rasa lelah justru kini semakin mendera batin.

Gue capek!

Gue pun buru-buru mengusap air mata lagi ketika mendengar ketukan dari luar kamar.

"Devin!" panggil Papa dari balik pintu.

Gue menormalkan napas sebentar sebelum menyahut. "Iya, Pa!"

"Ini ada telepon dari Mama, mau ngomong sama kamu katanya."

Gue pun langsung bangkit lalu menuju pintu dan membukanya. Gue langsung meraih ponsel yang tadi Papa berikan.

Gue langsung melangkah ke dalam kamar dan diikuti Papa. Kini Papa sudah duduk di sofa sementara gue memilih untuk duduk di atas ranjang.

"Halo, Ma? Kena--"

"Devin! Kok Mama telepon gak bisa dihubungi terus, sih!"

Buru-buru gue menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar teriakan Mama. Gue mengelus dada sebentar karena efek terkejut tadi.

"Kenapa sih, Ma? Jangan teriak-teriak mulu dong! Devin gak budek kok!"

Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Habisnya kamu yang buat Mama jadi teriak-teriak gini. Kesel deh kan Mama jadinya!"

Gue terkekeh pelan. "Iya, maaf."

"Hp kamu kenapa gak aktif?"

"Mati, Ma," jawab gue seadanya.

"Masa iya mati tiap hari."

"Ya terus mau gimana lagi, orang mati."

"Ya udah sana kubur!" teriak Mama lagi.

Gue otomatis langsung terkekeh lagi. "Iya iya. Nanti Devin aktifin ponsel lagi."

"Ya udah. Besok jadi kan pulang?" tanya Mama dari seberang sana.

"Jadi, Ma."

"Minta anter aja sama Papa kamu tuh kalo mau pulang."

"Devin kan ke sininya bawa mobil sendiri, Ma."

"Ya gak apa-apa. Mama khawatir kalo kamu ke sininya sendiri."

Gue menghela napas pelan. "Devin bukan anak kecil, Ma."

Terdengar helaan napas dari Mama. "Ya udah kalo gitu, besok hati-hati pulangnya."

"Iya, Ma."

"Ya udah Mama tutup teleponnya sayang. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Setelah menutup sambungan, gue langsung melempar ponsel Papa asal di atas ranjang. Papa pun langsung mendekat lalu duduk di sebelah gue sambil meraih ponsel-nya.

"Kamu gak aktifin handphone lagi?" tanya Papa.

Gue mengangguk sebagai jawaban.

Papa mendesis samar. "Ishh... Anak Papa kok gak gentle banget, sih. Lari dari kenyataan terus."

Gue otomatis langsung menoleh menatap Papa. "Papa ngomong apa, sih!"

"Kenapa kamu selalu matiin hp terus?" Papa malah bertanya balik. "Mau menghindar dari orang-orang? Atau lebih tepatnya menghindar dari Natt?"

Devino Xavier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang