4. Lilis Dipanggil Guru BP

69 33 16
                                    

     Sesampainya di kelas aku langsung duduk di kursi paling kiri nomor dua dari belakang. Tembok yang kokoh dengan jendela terbuka, disanalah tempatku mengukir mimpi. Mimpi yang datang silih berganti bak mentari pagi menyinari bumi. Disanalah aku bisa bertemu ibuku, seseorang yang selalu ada di hati.

     Di kelas aku tidak menemukan batang hidung seorang Lilis. Kemanakah dia?
Aku bertanya pada Retno tentang keberadaannya.

     "Tadi Lilis dipanggil Bu Devi" jawabnya serius

     "Ada masalah apa sampai Lilis dipanggil guru BP?" Tanyaku kebingungan.

Seorang seperti Lilis dipanggil guru BP itu adalah hal yang diluar nalar. Aku yakin 9999,99999% Lilis nggak akan berani bikin ulah, apa lagi sampai bikin onar. Dia nggak sengaja nginjek semut aja, dia minta maaf sama temennya semut. Sampai-sampai dia beli jajanan yang manis dan didiemin aja.
    
     "Sengaja, biar semut bisa makan. Ini permintaan maaf ku karena telah mbunuh temannya." Jawab Lilis ketika ditanya tentang hal konyol yang ia lakukan.

Tapi itu hanya sekali. Karena kekonyolan yang Lilis lakukan itu membuat kelas ini menjadi banyak semut. Teman-teman sekelas semua gatal-gatal digigit semut. Alhasil, jadi lebih banyak semut yang mati. Dan yang pasti, itu membuat Lilis merasa bersalah. Bukan karena teman-temannya yang gatal-gatal, tapi karena ia membunuh lebih banyak semut. Kelembutan hatinya membuatnya tampak cantik tanpa polesan, tampak anggun tanpa ucapan, dan tampak mempesona tanpa tebar pesona. Kebaikan dan ketulusan hatinya membuat tak seorangpun tega menyakitinya. Bagiku Lilis adalah sahabatku yang paling setia. Dia ada disaat apapun. Dia suka ngomel kalau aku belum ngerjain tugas, walaupun akhirnya dia ngasih contekan. Dia orang yang paling jujur kalau aku tanya tentang keburukanku. Dia tidak pergi saat aku terpuruk, dan bahagia saat aku merasa senang. Dialah teman terbaik, yang selalu menghiburku kala aku rindu Ibu. Dia tidak hanya sahabat, tapi juga saudaraku, ibuku, guruku, semuanya. Aku beruntung punya teman seperti Lilis, Lisa Aulia Ashari.

   "Di tempat duduk siap grak!" Gilang memimpin untuk memberi salam pada Bu Endang.

     "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" kami kompak memberi salam kepada Bu Endang.

   "Ada PR?" Tanya Bu Endang setelah beliau menjawab salam.

     "Tidak, Bu" kami menjawab dengan senang hati.

Pelajaran terus berlanjut sebagaimana mestinya, dan aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang Bu Endang sampaikan. Mataku memandang buku yang aku buka di halaman yang entah benar atau salah. Tangan kananku memegang pensil yang aku pinjam dari Lilis. Pikiranku kosong, aku merasa bosan dengan suasana seperti ini.

     "Tok..tok...tok.." Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

     "Iya, silahkan masuk," suara lembut dari Bu Endang mempersilahkan masuk.

Ada sedikit perbincangan antara Bu Endang dengan Lilis yang baru saja masuk kelas. Tidak lama kemudian Lilis diperbolehkan duduk tanpa harus menyanyi seperti yang dilakukan Agus waktu ia telat masuk pelajaran Bu Endang. Lilis membawa amplop yang aku yakin itu berisi surat. Tapi surat apa? Aku penasaran dengan isi amplop itu.

     Lilis duduk dan mengambil Buku Seni Budaya dari dalam tasnya yang berwarna biru muda.

     "Halaman berapa?" Tanya Lilis padaku.

     "Entah, kamu nanya halaman sama aku, aku mana tau sekarang halaman berapa. Yang aku tau, 93 menit lagi waktu istirahat" jawabku setengah berbisik.

Lilis membuka halaman 32, angka yang disebutkan Retno saat ditanya Lilis dengan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab tadi.

     "Kamu ngapain di ruang BP?" Tanyaku penasaran.

Bukan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang