5. Kak Rehan Mencariku?

70 29 26
                                    

     "Assalamualaikum..." Aku mengucap salam sambil membuka pintu rumah.

Tak seorangpun menjawab salamku. Aku membuka sepatu lalu meletakkannya di atas rak. Aku melangkahkan kaki menuju kamarku yang terletak di sebelah Timur ruang tamu. Aku meletakkan tas di atas kursi, berganti pakaian lalu sholat di mushola kecil yang ada di sebelah Utara ruang tamu. Selepas sholat aku kembali ke kamar membawa segelas air putih yang aku ambil dari dapur.

     Aku melemparkan tubuhku ke kasur dengan posisi terlentang. Aku menyalakan kipas angin dan kembali seperti posisi semula.

     "Sepi," kata yang selalu aku ucapkan manakala aku dirumah sendiri.

Ayahku belum pulang dari kerjanya. Biasanya Ayah pulang jam 5 sore, tapi kalau masih banyak kerjaan Ayah bisa pulang jam 9 malam, bahkan lebih. Dulu waktu Kak Riko belum ke Medan, Ayah sesekali nginep di kantor dan baru pulang keesokan harinya. Ayahku pekerja keras dan bertanggung jawab. Walaupun sekarang aku hanya tinggal dengan Ayah, Ayah nggak mau aku jadi anak yang manja. Ayah menanamkan sikap mandiri sejak aku masih kecil. Aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Ayah juga selalu mengajarkanku untuk bertanggung jawab. Dulu aku pernah nggak sengaja numpahin cat dilantai, dan Ayah menyuruhku membersihkannya sampai bersih, padahal dulu aku masih kelas 2 SD. Walaupun Ayah orangnya keras, tapi ia sangat sayang padaku. Aku pun juga demi kian. Aku sayang Ayah, sangat sayang. Kalau tidak ada Ayah, aku pasti sudah menjadi berandalan.

     Aku melirik meja kecil yang ada disamping tempat tidurku, aku mengambil figura yang terdapat foto keluargaku. Foto itu diambil kala aku masih TK, imut sekali. Difoto itu aku terlihat bahagia digendong Ibu dan Kak Riko duduk dipundak Ayah. Kita semua tersenyum bahagia. Aku ingat, waktu dulu sebelum foto itu diambil, aku sempat menangis karena aku melihat Kak Riko terjatuh hingga kakinya berdarah. Kak Riko biasa saja, namun ketika ia melihatku menangis Kak Riko juga ikutan menangis. Kita berdua menangis sedangkan Ayah dan Ibu malah tertawa.

     "Wah, anak-anak Ibu sangat sayang satu sama lain rupanya," Ibu berkata sambil mengusap air mata kami berdua.

     "Anak laki-laki nggak boleh cengeng, ayo naik!" Ayah mendekati Kak Riko dan menyuruh Kak Riko naik ke pundak Ayah.

Aku digendong Ibu dan Kak Riko duduk dipundak Ayah. Kami jalan-jalan di taman, lalu Ayah meminta tolong pada seseorang untuk memotret kami.

     "Satu...dua....tiga" seseorang menghitung tanda foto akan segera diambil.

Aku ingin kembali dihari itu, walaupun aku tau itu tidak mungkin. Aku memeluk figura itu lalu meletakkannya kembali setelah aku mengusap air mata yang selalu menetes dikala aku memeluknya.

     "Aku rindu Ibu, aku rindu Kakak. Aku merindukan pelukan Ibu, aku rindu dikepang Ibu, aku rindu Kak Riko, aku rindu dijahili Kakak. Aku rindu kalian, sangat rindu"

Aku tak kuasa menahan tangis ketika aku merindukannya.
Hari beranjak malam, Ayah sudah pulang dan kita sudah makan malam. Malam itu hujan deras, hingga membuat tidurku sangat pulas.

     Hari ini aku berangkat lebih pagi untuk menjalankan hukuman dari Pak Budi. Aku langsung pergi ke taman dan melihat Pak Joko sedang menyapu halaman taman.

     "Pagi Pak Jek!"

Pak Jek adalah panggilan akrab dariku.

     "Pagi neng Andit. Ada apa pagi-pagi kok sudah datang?" Tanya Pak Jek agak bingung kenapa aku datang sangat pagi.

     "Biasa, dapet rejeki dari Pak Budi, saya disuruh menyirami tanaman disini." Jelasku pada Pak Jek.

     "Hari ini nggak usah disiram, semalam sudah hujan deras, lihat saja tanahnya masih basah,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang