2. Memory

147 10 0
                                    

Sekumpulan pria dan wanita melebur menjadi satu di atas lantai dansa. Seakan tuli, mereka hanyut dalam dentuman musik yang memekakkan telinga.

Aku menggelengkan kepala, saat kulihat temanku, Yura, yang kini sedang asik melenggokkan tubuhnya bersama pria asing yang baru saja ditemuinya malam ini.

Sejujurnya, aku tidak biasa dengan suasana seperti ini. Kalau saja Taehyung ada di sini, pasti dia sudah mati-matian mencegahku.

Aku mengangguk sekilas ketika seorang bartender berusaha menuang kembali alkohol ke dalam gelasku. Pandanganku beralih ketika seorang pria mendudukkan dirinya tepat di sampingku. Aku mendengus ketika dia memandangku seolah aku adalah benda langka yang baru saja ditemukannya.

"Wow, kau Jihyo yang kukenal bukan? Aku tidak tahu kau bisa seperti ini--maksudku, wow, kau terlihat mengagumkan, Ji."

Aku berdecak kesal, tidak menanggapi. Pria itu hanya terkekeh, menampilkan dimple di kedua sudut bibirnya. Dia adalah Kim Namjoon. Senior di kampus kami, sekaligus teman akrab Jimin.

Jujur, aku juga sedikit terkejut dengan penampilan sunbae-ku ini. Maksudku, bagaimana pria kutu buku sepertinya dapat berubah menjadi pria yang seksi?

Aku tidak melihat kacamata bertengger di wajahnya. Oh, dan yang benar saja? bahkan dia membuka dua kancing kemeja atasnya, memperlihatkan dada bidangnya. Dan jangan lupakan vein di tangannya, terlihat sangat jelas karena lengan kemeja yang di gulung sampai sikunya. Ku akui dia terlihat sangat seksi, berbeda dengan Kim Namjoon yang biasa kutemui di kampus. Mungkin sekarang kau bisa samakan pandanganku seperti saat Namjoon melihatku, seperti menemukan benda yang langka.

"Jimin.. apa dia masih mengganggumu?"

Tanyanya membuyarkan lamunanku, aku hanya memutar bola mataku malas.

Oh, tidak. Jangan Jimin lagi.

"Sunbae.. kau akan percaya padaku kalau kubilang tidak?"

Aku kembali meneguk minumanku, mengabaikan Namjoon yang kini terus mengetuk gelasnya pelan, seperti sedang berpikir.

"Kabar Taehyung bagaimana? Dia baik-baik saja?"

Aku menautkan kedua alisku,

"Tentu, dia bisa mengurus dirinya sendiri."

Ah, aku memang sangat bodoh.

Kadar toleransi alkoholku rendah, dan bodohnya aku tidak memperhatikan sudah berapa kali bartender itu kembali menuang alkohol, lebih bodohnya aku terus mengangguk mengiyakan.

Aku menumpu kepalaku dengan tanganku. Kepalaku terasa sangat pusing, pandanganku mulai kabur, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Namjoon, aku berusaha bangkit dan mungkin saja aku sudah ambruk jika tidak ada sepasang lengan yang menahanku.

"... Jimin?"

***

Suasana terasa begitu canggung ketika Jimin memaksaku untuk pulang bersamanya. Aku sudah berusaha menolak, tapi dengan mudahnya Jimin menggendongku dan memaksaku masuk ke dalam mobilnya.

Selama perjalanan, aku sama sekali tidak menatap kearah Jimin. Aku menyandarkan kepalaku dan menatap jalanan yang sampai sekarang masih saja ramai.

Aku bisa merasakan Jimin terus mengalihkan pandangannya ke arahku. Tanganku berusaha untuk menutupi pahaku yang sedikit terekspos karena rok pendek sialan ini, kalau saja Yura tidak memaksaku aku tidak akan sudi memakainya.

"Kau tidak biasanya pergi ke tempat seperti itu,"

Jimin angkat bicara, tapi aku memilih diam, tidak menjawab. Jimin menghela napas kemudian meminggirkan mobilnya. Tangannya masih bertumpu pada kemudi mobil, kemudian beringsut mengambil jaket yang ada di kursi belakang dan memberikannya padaku.

"Kenapa harus memakai pakaian seperti ini, kau tahu pria mudah sekali tergoda, bagaimana kalau hal itu terulang la--"

"Jimin,"

Dengan cepat aku memotong perkataan Jimin sebelum dia kembali mengingatkanku akan hal itu. Hari dimana aku dan Jimin berakhir di sebuah hotel, hari dimana segalanya menjadi rumit, dan hari dimana aku mengkhianati Taehyung.

"Kumohon jangan membahasnya,"

Aku menunduk, meremat jaket Jimin kuat. Rasanya aku ingin menangis setiap mengingatnya.

Aku memberanikan diri untuk menatap Jimin,

"Jimin, itu adalah kesalahan, mari lupakan semuanya, kumohon.."

Suaraku sangat lirih, dan untuk beberapa saat Jimin hanya terdiam. Tatapannya berubah menjadi sendu, kemudian Jimin kembali memandang ke depan. Genggaman pada kemudi mobilnya semakin mengerat, jarinya mulai terlihat memutih.

"Bagaimana aku bisa melupakannya, Ji? Itu yang pertama bagiku.."

Sudah sesering mungkin aku mengatakan hal ini pada Jimin, dan nihil. Jawabannya selalu sama seperti sekarang. Pasti terdengar egois kalau aku berharap Jimin akan melupakannya sedangkan itu adalah yang pertama kali baginya, hal yang seharusnya dilakukan Jimin dengan wanita yang di cintainya, dan itu bukan aku.

***

Please leave your vote and comment 💜

SomeonusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang