Seratus Peluru untuk Amru

1K 48 2
                                    

Seratus Peluru untuk Amru
Karya :
Habiburrahman El Shirazy

Namanya Amru. Anak lelaki berumur 12 tahun itu terlahir dari rahim seorang wanita Palestina perkasa dari Nablus. Diberi nama Amru karena ibunya berharap agar ia bisa seperti sahabat Nabi yang agung yaitu Amru bin Ash. Seorang sahabat Nabi yang cerdas, pemberani dan perkasa. Panglima perang pasukan Islam saat membuka tanah Mesir lima belas abad yang lalu, dengan gagah berani menggilas kezaliman tentara Romawi hingga bertekuk lutut di hadapan keadilan Islam

Anak lelaki itu telah yatim piatu sejak berumur lima tahun. Ayahnya mati syahid, ditembak serdadu Israel usai shalat Jumat di Masjidil Aqsha, saat ia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sedangkan ibunya menyusul syahid saat ia masih berumur lima tahun.

Kini Amru tinggal bersama kakeknya yang sudah berumur tujuh puluh tahun. Mereka berdua tinggal di sebuah gubug darurat di pinggir kota Khan Yunis. Rumah mereka di Nablus telah hancur berkeping-keping dibombardir Israel. Bahkan diatas puing-puing rumahnya itu kini telah berdiri villa mewah milik bisnisman Yahudi yang baru datang dari Ceko bersama dua puluh lima ribu orang Yahudi lainnya dari Eropa Timur.

Sementara orang-orang Palestina terusir dari rumah dan kampung halaman mereka, satu per satu menemui ajal diburu peluru –peluru buta Israel, ribuan penduduk baru Yahudi didatangkan dengan diberi seribu perlindungan, dengan seribu fasilitas mewah yang dibangun diatas mayat-mayat dan genangan darah anak Palestina.

Tiap pagi Yahudi Israel makan roti bakar yang diolesi keju bergizi tinggi yang disarikan dari darah dan nanah rakyat Palestina. Mereka makan gandum yang ditanam diatas bumi Palestina dan disirami dengan keringat, peluh dan darah rakyat Palestina.

Pagi itu sehabis shalat Subuh dan mengaji Al-Qur’an bersama kakeknya, Amru bergegas keluar dari gubug reot itu. Ia langsung menyambar ember. Ya, seperti biasanya ia harus mengambil air untuk keperluan hidup dari pipa-pipa pengairan di ladang-ladang anggur Israel. Ia harus berjalan satu kilo lebih untuk mengambil air. Itu pun ia mesti bergerilya penuh waspada, jangan sampai kepergok tentara Israel durjana.
           
Sejak kekalahan Arab pada perang tahun 1967 nyaris segala sesuatu yang ada di atas bumi Palestina masuk dalam genggaman Israel, tak terkecuali air. Begitu mahal harga setetes air bagi Israel sehingga seluruh jalur pengairan mereka jaga sedemikian ketatnya. Namun, begitu murah darah rakyat Palestina bagi Israel sehingga dengan seenaknya mereka mengalirkannya setiap hari tanpa henti.

* * *

     
“Kek, Amru pamit dulu ngambil air ya,” Amru mencium tangan kakeknya yang berdiri di pintu gubug.
     
“Fi ri’yatillah, cucuku. Pasanglah seluruh inderamu. Janganlah lengah. Jika kepergok Israel cepat-cepat selamatkan diri. Jangan kautumpahkan darahmu sia-sia pagi ini. Sebab, di bumi Palestina ini kau bisa memilih cara paling mulia untuk menumpahkan darah syahidmu, cucuku. Rasakan dengan sepenuh hati bahwa Allah bersama langkahmu,” dengan suara penuh wibawa sang kakek menasihati cucunya sambil mengusap-usap kepalanya dengan penuh kasih saying dan cinta.
     
Sejurus kemudian Amru melesat seperti anak panah sambil menenteng ember. Sang kakek memandangi cucunya yang yatim piatu itu dengan meneteskan air mata.
     
“Ya Allah … limpahkanlah satu telaga kesabaran yang tiada habis sumbernya pada anak-anak Palestina. Untuk sekedar mengambil air minum saja ya Allah, yang keluar dari bumimu mereka harus mempertaruhkan nyawa. Ya Allah… lindungilah Amru, cucuku yang yatim piatu. Kalau Kau pilih dia untuk syahid di jalan-Mu, pilihkanlah jalan yang paling mulia dan paling Kau ridhai. Amin.” sang kakek berdoa penuh khusyuk saat Amru ditelan kabut pagi.
     
Amru berlari-lari kecil. Hatinya riang. Ya, hatinya selalu riang sehabis tadarusan Al-Quran di Subuh hari bersama kakeknya. Hanya Al-Quranlah lagu dan musik jiwanya. Kepapaan dan kesengsaraannya semakin menjadikan ia tidak bisa berpisah dengan Al-Quran, pelipur laranya satu-satunya. Al-Quran memberikannya harapan-harapan masa depan yang cemerlang, menciptakan nuansa-nuansa keindahan dalam hatinya.
           
Ia terus berlari-lari kecil, hatinya riang, ia masih terpaut dengan surat Al Insan ayat 11 dan 12 yang tadi ia baca dengan meneteskan air mata.

Cerpen SastrawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang