Rembulan di Mata Ibu
Karya : Asma NadyaKupandangi telegram yang barusan kubaca, batinku galau.
Ibu sakit Diah, pulanglah!Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana.
Mbak sri menyuruhku pulang? Tapi …. Benarkah Ibu sakit?
Bayangkan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Ibu selalu kelihatan sangat kuat.
Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku.
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!” komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan.
"Beginilah jadinya kalau anak perempuan Cuma bisa belajar. Tak tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya. Aku capek.
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!” Tak kuhiraukan kalimat Ibu.
Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih. Saat itu aku merasa begitu yakin.
Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak pernah dan tak akan pernah mencintai diriku!
“Diah … kok melamun?” Aku mengusap air mata yang menitik. Laili yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian.
“ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu. Aku berdehem berat.
“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah kutemukan.
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati.
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang Ibu, dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu padaku. Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun!
Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang melahirkanku. Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan pelukan hangat.
“Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar.
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya tanpa daya. Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku.
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?”
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!” jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Sastrawan
Cerita Pendekkumpulan cerpen karya satrawan Indonesia. Buku sastra Indonesia bisa disebut memiliki kekuatan yang menghibur, sebab pada hakikatnya sastra selalu berhubungan dengan keindahan (juga kebaikan atau pun kebenaran). Membaca sastra dapat mendorong pemb...