Prolog

25 0 2
                                    

5 Januari 2026

Setelah nyaris satu bulan Aku di Borneo, Kalimantan, untuk melakukan eksibishiku sendiri yang ke tiga akhirnya Aku kembali ke rumah.

Karena kebiasaan baru bepergian ke luar kota atau bahkan harus menyeberang, Aku meminta kunci rumah cadangan supaya tidak mengganggu waktu istirahat orang rumah saat pulang dengan waktu yang tak tentu, seperti perjalanan ku kali ini baru sampai pukul 00.45.

Aku memutuskan tidur kembali setelah terbangun tepat azan subuh berkumandang dan menunaikan salat.

Pukul 09.00 Aku dibangunkan oleh aroma dapur yang memintaku bangkit.

Pagi ini, seperti biasa dalam tiga tahun terakhir bila sepulang Aku melakukan perjalanan luar kota, Mamak selalu menyiapkan makanan layaknya pesta.

Kali ini memasakkan pindang patin kesukaanku, sebenarnya banyak makanan favoritku apalagi kalau by my mom jadi bagi Mamak menyiapkan makanan yang Aku suka tidak begitu sulit karena beliaulah yang paling hafal apa yang Aku mau.

"Gimana Borneo?" tanya Bapak kala Aku mencium tangan beliau setelah Mamak. Karena Aku baru sampai rumah pagi tadi saat mereka masih terlelap.

"Alhamdulillah antusias, Pak. Mboten ngira lek teng Kalimantan ternyata banyak pemuda sing gadah ketertarikan ageng pada bidang fotografi dan menulis." Aku menjelaskan betapa terharunya Aku atas eksibishiku kemarin.

(Lek = kalau. Teng = di. Sing = yang. Gadah = punya. Ageng = besar)

Percakapan kami berlanjut dengan Aku yang mendominasi, menceritakan keseluruhan dari perjalananku kali ini.

Bapak Mamak mendengarkan dengan saksama dan penuh takjub atas gambaran Borneo yang Aku kabarkan.

Selesai sarapan Aku kembali ke kamar tidurku, rindu sekali rasanya berlama-lama di ruang berukuran 4x3 ini, tiga tahun lalu setelah tiba-tiba Tuhan mengabulkan inginku tanpa isyarat, lantaran Aku konsisten memosting gambar hasil jepretanku—ternyata menarik perhatian pemilik museum fotografi besar dan satu-satunya di Indonesia--tepatnya di Bandung--namun sudah punya banyak cabang, ranahnya pun sudah sampai kancah Internasional, Om Fahri.

Sejak saat itu Aku jadi sering keliling Indonesia untuk memenuhi undangan kampus bergengsi atau tempat eksibishi fotografi milik Om Fahri di kota lain Tanah Air.

Sampai saat ini masih terkejut bukan main, Aku selalu menepuk pipi berniat membangunkan diri kalau-kalau ini mimpi.

Seperti dewi fortuna mendatangiku, tanpa sama sekali pernah kuduga foto sederhana yang membidik seorang pria dewasa yang dituntun gadis muda sebagai matanya, kuambil saat sedang istirahat dari perjalananku ke Jambi, berikut caption yang ku sertakan di Instagram mengantarku menyadari bahwa tidak ada satu pun cita-cita yang tidak mungkin bagi-Nya.

Aku berbaring di kasur yang terbuat dari kapuk, meski sudah tidak begitu empuk namun selalu sukses bikin mengantuk, mataku menelusuri atap kamar dan sekelilingnya.

Hingga pandanganku jatuh pada satu kardus yang nangkring diatas lemariku.

Aku mengernyit lalu beranjak penasaran, kuambil kursi plastik di ruang tamu yang letaknya di depan kamarku, lalu menaikinya dan mengambil kardus.

Berapa abad kiranya Aku tidak membereskan atas lemariku sampai para debu mangkir diseluruh kardus bagian luar ini?

Baiklah, coba kita lihat. Apakah gerangan isinya.

Benar saja, debu sangat tebal membuatku terbatuk beberapa kali.

Sebelum akhirnya lupa bahwa ada beberapa debu yang mampir di hidungku, lantaran mataku terpaku pada sebuah buku yang berada di posisi paling atas saat Aku membuka kardus ini.

'Teori Musik Barat'

Sontak, Aku tenggelam dalam sendu, lalu dibawa paksa mesin waktu pada saat itu.

Dua SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang