33. d'Osaka avec amour [Yuta, Winwin, Renjun]

5.3K 610 7
                                    

Osaka bukan kota yang asing bagi Renjun. Sedikitnya sekali setahun dia pasti pulang ke kota yang dijuliki seribu jembatan. Ayahnya lahir di sini, kakek dan neneknya pun masih tinggal di sebuah rumah tradisional Jepang di daerah Umeda, bahkan dia pun sudah hapal beberapa jalanan berdasarkan bangunan yang dia rekam baik-baik dalam otaknya.

Seperti hari ini, dia menebak bahwa setelah jalan yang mereka lewati ini, mobil akan berbelok ke kiri, tak jauh dari toko bunga di samping minimarket, di situlah rumah keluarganya.

Dia tersenyum lepas saat Winwin membuka seat beltnya, kaki mungil berlapis boots cokelat dengan mantel berwarna senada kembali menginjak tanah Kansai, dia berlari kecil ke dalam rumah yang rimbun oleh tanaman hias di berbagai sisi, meski sekarang tertutupi oleh salju tipis, kakek dan neneknya menyambut dengan tangan tangan terbuka.

"OJII-CHAN! OBAA-CHAN!" serunya senang. [Kakek, nenek]

Bertemu dengan kakek neneknya adalah satu dari sekian banyak kegiatan favoritnya di Jepang.

"Mago-chan," Renjun terkikik saat neneknya mencium pipinya dengan lembut. [cucuku]

"Ogenki desu ka?" tanya sang kakek. [Apa kabar?]

"Hai! Okagesama de." [Aku sehat]

"Ah, yokatta. Ayo masuk, di luar dingin. okaa-chan wa doko desu ka?" [ah, syukurlah. Dimana ibumu?]

Dia menunjuk ke arah mobil, tepatnya pada orang tuanya yang sedang menurunkan barang bawaan dibantu keluarganya yang lain.

"Obaa-chan, aku mau melihat ikan!"

Neneknya menggandeng tangan mungil itu ke kolam belakang, sewaktu menelpon kemarin, beliau dengan sengaja memamerkan ikan hias milik Yuto—pamannya yang sedang ada urusan di pusat kota, hingga membuat anak itu memekik ingin melihat—iri sebenarnya karena Jaemin dengan wajah cerah bercerita dengan akuarium raksasa yang ia kunjungi di Thailand tempo hari.

"Wah. Ini ikan apa?"

"Itu ikan mas," jawab kakeknya.

"Ojii-chan, ini bisa dimasak?"

"Kalau Renjun mau, bisa."

"Jinjja?"

"Please, speak in Japanese, Renjun-chan."

"YUTO OJI-CHAN!!!" [paman Yuto]

"Hisashiburi, oi-chan!" [lama tidak berjumpa, keponakanku]

Dia tertawa saat Yuto mengangkat tubuhnya ke udara dan memutarnya seperti baling-baling, Winwin yang sedang duduk hanya tertawa, keduanya memang dekat karena Yuto sering sekali mengunjungi mereka setiap ada pekerjaan di Korea.

Dia juga yang menyarankan mereka untuk mengajari Renjun berbahasa Jepang, karena bagaimana pun juga anak itu memiliki darah Jepang yang mengalir dalam tubuhnya.

"Sudah lama?"

Dia mengangguk, "Aku sudah melihat ikan. Ah, ojii-chan dari mana?"

Yuto tersenyum jahil, "Coba tebak?"

"Berkencan?"

Yuta tersedak teh yang dia minum, menatap horor pada anaknya yang menjawab dengan inosen.

"Renjun-ah, kau tau kata itu dari siapa?"

"Uhm, temanku bilang kemarin dia ikut kakaknya berkencan?"

Yuto tertawa, "Hahaha, bukan, ayo tebak lagi."

"Tidak mau," rajuknya.

Yuto berdecak dan mengeluarkan sebuah kotak dari belakang tubuhnya, "Untuk oi-chan yang paling cantik dan manis!" katanya dengan tangan mengelus rambut keponakannya.

Winwin mendesah, lagi-lagi hadiah. Kini dia memahami perasaan Ten yang sering kali emosi saat orang tuanya atau orang tua Taeyong mengirim sesuatu untuk anaknya, dia tidak ingin Renjun-nya terbiasa menerima apapun tanpa usaha karena itu akan membuatnya semakin manja.

"Ayo bilang apa?" kata Yuta.

"Kamsa—ah, arigatou gozaimasu, Oji-chan," dia membungkuk sembilan puluh derajat yang membuat Yuto tertawa.

"Sama-sama, sekarang istirahat ya, pasti lelah sekali dari Korea? Besok kita bermain lagi."

"Janji?"

Dia mengulurkan jari kelingking yang disambut Renjun dengan senyum, "Baiklah." Dia berlari ke arah ibunya di sofa dan berbaring dengan beralaskan paha sang ibu.

"Hadiahnya disimpan dulu, ya?"

"Oke," dia menyerahkan kotak berukuran sedang itu pada Yuta. Tangan Winwin bergerak, membelai rambutnya dengan lembut dan membawanya ke alam mimpi yang indah.

"Jadi, besok kalian mau kemana?"

Yuta yang kini duduk di atas karpet mengedikkan bahu mendengar pertanyaan adiknya, "Kau ada rekomendasi?"

"Tergantung keinginan anakmu kan, dia mau kemana?"

"Sepertinya Renjun akan senang bermain di wahana air," jawab Winwin.

"Spa world saja. Aman kok, bawa keponakanku kesana."

Mereka berpandangan, Yuta mengangguk, "Baiklah, nanti dia juga akan kuajak ke onsen. Dia harus tahu betapa nikmat berendam di air hangat saat musim dingin."

Winwin mendengkus, padahal mereka sering kali mengajak Renjun ke permandian air panas.

"Loh, Renjun tidur?" tanya ibu mertuanya yang kembali dengan nampan berisi banyak sekali makanan khas Jepang, ada onigiri, takoyaki, sushi, bahkan mie soba.

"Dia lelah, okaa-san," Winwin menjawab dengan senyum, ibu mertuanya berdecak pelan, "Okaa-san simpan di dapur ya, berikan padanya kalau dia bangun."

"Hai."

Yuta dan Yuto beradu tatap, padahal apa salahnya menaruh nampan besar itu di atas meja, kenapa mesti kembali ke dapur.

"The power of grandson," ujarnya.

Yuto mengamini.

"Makanya Yuto cepat menikah biar okaa-san tidak kesepian di sini,"

Mata lelaki itu berotasi malas, "Jangan dulu, aku masih belum puas bermain dengan Renjun-ku."

"Dia anakku, kalau kau mau puas bermain, bikin sendiri sana!"

"Galak sekali kakakku ini," keluhnya.

Winwin tertawa kecil melihat interaksi suami dan adik iparnya, kembali ke Jepang memang selalu membuatnya nyaman, semua orang selalu menyambut mereka dengan hangat, memperhatikan dan menyayangi Renjun dengan begitu baik, menerimanya dengan tangan terbuka.

Ke Osaka baginya seperti ke Wenzhou sama-sama pulang ke rumah yang memeluknya sepenuh hati.

Dia bersyukur, benar-benar bersyukur mendapatkan Yuta dan Renjun dalam hidupnya.

***

la vie de familleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang