بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Dalam sebuah dapur berukuran minimalis, seorang perempuan memakai celemek dengan rambut yang digelung hingga menyisakan anak-anak rambut di sekitaran tengkuknya tengah asyik melakukan kegiatan favoritnya, yaitu memasak.
Dengan wajah bersemangat sambil sesekali bersenandung riang, ia mengocok telur yang sudah dicampur dengan gula menggunakan whisker agar dua bahan itu merata. Suara alat pengocok dan wadah yang saling bertubrukan menemani nyanyian sang koki yang bersemangat sekali dalam mengelola masakan berbahan cokelat. Setelah itu ia memasukkan terigu sebanyak 75 gram, garam seperempat sendok, dan setengah sendok baking powder.
Ia melangkah untuk mengambil cokelat yang tadi sudah sempat dilelehkan sebelumnya, kemudian ia campurkan bersama adonan tadi.
Begitu semua adonan sudah tercampur, gadis itu mulai menyiapkan mangkuk alumunium foil. Tangannya lincah mengolesi mangkuk dengan margarin dan menaburinya dengan terigu sedikit-sedikit. Kemudian ia masukan adonan ke dalam cetakan.
Dimasukkanlah ke dalam oven yang sudah sempat dinyalakan dengan suhu 160°C.
Tinggal menunggu selama lima menit.
Luna menepuk-nepuk tangannya. Ini adalah hari istimewa. Jadi ia tidak boleh melewatkannya dengan sia-sia.
"Ayah, aku ingin tahu, mengapa bentuk topi Chef seperti itu." Tangan mungil Luna menunjuk televisi yang tengah menayangkan acara kompetisi masak. Para peserta terlihat sibuk sekali di dapur yang hawa panasnya pun sampai ke penonton yang menyaksikan.
"Apakah itu penting untuk ditanyakan?"
"Bukankah sesuatu terbentuk dan terjadi karena sebuah alasan?"
"Memang pintar anak Ayah satu ini. Betul, ada alasan mengapa bentuk topi seorang Chef memiliki macam-macam ukuran dan berlipat-lipat seperti itu. Jumlah lipatan terbanyak adalah 100 lipatan. Dan kamu tahu apa artinya?"
"Apa Ayah? Ayo, cepat katakan!" Luna semakin menggebu-gebu. Pasalnya, dia paling suka dengan acara masak-masakan. Ia ingin apa yang ia mainkan dengan tanah-tanah dan daun yang dipetik bersama teman-temannya bisa menjadi kenyataan.
"Semakin tinggi topi yang dipakai, semakin tinggi pula jabatannya. Semakin banyak lipatannya, semakin banyak kemampuan memasak yang dimiliki seorang Chef. Keren, bukan? Coba bayangkan, Chef hebat mampu membuat makanan berbahan dasar telur dalam 100 resep!"
Mata Luna berbinar. "Waah, keren. Pasti semua makanan buatnya enak-enak! Telur yang dibuatnya saja pasti bukan telur biasa. Kalau begitu, aku tertarik ingin menjadi seorang Chef."
"Kamu serius?"
Luna mengangguk antusias.
"Cokelat Lava ala Chef Luna sudah siaaap....." Luna mengangkat hasil kreasinya dengan bangga. Beberapa cokelat Lava berbentuk mangkuk yang sudah diberi garnish berupa butiran strawberry yang sudah dipotong tipis-tipis dan satu cokelat yang sudah dipotong bagian tengahnya hingga lelehan cokelat terlihat menggoda menghiasi piring putih. Wangi cokelat pun menguar.
"Selamat ulang tahun, Ayah...." Wajah Luna berubah sendu.
Ponsel yang tergeletak di atas meja makan berdering. Luna segera meletakkan piring berisi empat buah cokelat lava dan beralih mengambil ponsel. Diangkatnya telepon yang tersambung.
"Waalaikumussalam.... Ya, saya sendiri."
"...."
"Buat onar lagi?!"
Mata Luna memicing, sebelah tangannya mengepal. Ingin rasanya ia melempar oven ke tembok. Arghhhh!!!
🍫🍫🍫
Assalamu'alaikum semuanya..
Setelah Seindah Asma Allah, kali ini aku membuat judul baru 'Semanis Cokelat'. Setelah bermain dengan pisau bedah, sekarang bersama pisau dapur ya 😜
Jangan lupa masukin reading list dan promosiin ke teman-teman kalian ☺️☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Semanis Cokelat √
General Fiction"Kamu tahu rasanya cokelat?" "Tentu saja." "Manis, bukan?" "Ya." "Itulah rasanya iman. Manis seperti cokelat." Bagaimana jadinya ketika seseorang yang pernah bermasalah denganmu di masa lalu kembali Tuhan pertemukan di masa depan?