[3] Menjemput Secara Paksa

11K 1.1K 60
                                    

Kuy, ke Karyakarsa Qeynov

*

*

"Yeah, wait!"

El menyeringai saat mendengar suara wanita yang ia cari-cari. Tak sabar, El terus memencet tombol bel flat yang Angelica tempati. Ia sangat menantikan reaksi wanita itu kala melihat dirinya setelah pintu dihadapannya terbuka dengan sempurna.

"Simon, please, wait!"

'Simon?!' batin El. Ia bisa mendengarnya dengan jelas.

Siapa gerangan laki-laki yang Angelica sebutkan namanya?! Papinya tidak mengatakan apapun selain memberitahukan informasi jika Angelica hidup sendiri di negara orang.

"Oh, My God! Sim..." Kalimat Angelica terhenti saat tak menemukan sahabatnya. Kelopak matanya melebar, tak percaya akan apa yang saat ini dirinya lihat.

"Hello, Angelica! Long time no see." Sapa El, tak lupa menghadirkan seringaian tajamnya.

"An-da. Anda kenapa ada di sini?" tanya Angelica ketakutan. Ia tak menyangka keberadaannya akan ditemukan lebih cepat dari apa yang dirinya duga. Laki-laki yang dirinya hindari— kini berdiri tepat di depan wajahnya.

"Simpan pertanyaan itu untuk nanti, Angelica!" Sentak El. "Kamu pikir apa yang sedang kamu kenakan saat ini?!" Rahangnya mengeras meneliti tubuh Angelica dari atas sampai pada flip-flops yang wanita itu gunakan.

"Dimana otak kamu?! Kamu sedang mengandung anakku, Sialan! Bagaimana bisa kamu membukakan pintu untuk seorang laki-laki dengan pakaian seperti ini?!" Hardik El. Akal sehatnya menghilang hanya karena hotpant dan atasan fit body tanpa lengan yang mencetak tubuh ibu dari anaknya.

"Apa maksud Anda, Pak?! Say-saya.."

"Masuk!" bentak El dengan sorot mata tajam. "Saya bilang masuk Angelica!" Seharusnya Angelica menuruti apa yang ia perintahkan. Ia sangat tidak menyukai seorang pembangkang, terlebih pada wanita yang membuat hari-harinya kacau selama beberapa hari belakangan.

"Saya mohon Anda pergi dari tempat tinggal saya. Please!" Mohon Angelica. Ia tak ingin menemui atau pun ditemui oleh penyebab dirinya diusir dari rumah.

"Tolong jangan temui saya lagi. Kita sudah tidak memiliki urusan." Ia melangkah mundur, berniat menutup pintu flatnya. Aksi itu harus terhenti kala seseorang di belakang El memanggil namanya.

"Nona Angelica! Bisa kita bicara?! Hanya sebentar saja. Tolong berikan kami waktu, saya janji tidak akan lama."

Angelica menatap lekat sosok dibelakang El. Ia tidak merasa mengenal sosok tersebut meski sebenarnya terasa begitu familiar. Laki-laki itu terlihat tak asing. Entah dimana ia pernah melihat sebelumnya, tapi Angelica yakin pria yang kini berdiri dibelakang Marchellino Darmawan merupakan orang yang dikenal oleh banyak orang di Indonesia.

"Saya Marchello Darmawan. Kakek dari janin yang Anda kandung."

Angelica tercengang. Laki-laki itu adalah Ayah dari manusia yang menghamili dirinya?!

"Saya yakin anda cukup sopan untuk tidak membiarkan tamu berdiri di depan flat anda, Nona?!" sarkas Marchello Darmawan.

"Pak.."

"Saya bisa menggunakan kekerasan jika waktu saya terbuang sia-sia seperti ini!"

Angelica terlihat tercengang mendengar penuturan itu. Ia memiringkan tubuhnya seolah sedang memberi akses untuk kedua tamu yang tak dirinya undang.

"Ganti dulu pakaian, kamu! Saya dan Papi akan masuk jika kamu sudah memakai pakaian yang layak." Ujar El yang mau tak mau membuat Angelica menganggukkan kepalanya- Terpaksa, tentunya.

Pintu flat Angelica kembali terbuka. Ia benar-benar mengikuti kemauan El dengan merubah penampilannya. "Silahkan masuk!" ucapnya mempersilahkan Chello dan El untuk memasuki unit yang dirinya tinggali. "Silahkan duduk, Pak! Maaf sedikit berantakan."

"Nona Angelica!" Panggil Chello.

"Please, just Angelica, Sir!" Angelica merasa tak nyaman sedari tadi dipanggil nona oleh salah satu pebisnis terkemuka di negaranya. Terlebih beliau sepertinya terlihat jauh lebih tua dari papanya yang menetap di Indonesia.

"Baiklah, Angelica." Chello mengulangi panggilannya sesuai dengan permintaan Angelica. Ia mengeluarkan kotak kecil dari balik jaket tebal yang dirinya kenakan.

"Ini adalah cincin pernikahan saya dengan istri saya. Sejak istri saya tahu kamu mengandung bagian dari keluarga kami, ia menyerahkan pada saya untuk diberikan pada kamu sebagai tanda bahwa kamu mau masuk dalam keluarga kami."

"Sir, i'm really sorr.."

"Dengarkan saya sampai selesai Angelica!" Tampaknya kakek dari janin yang Angelica kandung tidak suka jika perkataannya diinterupsi.

"Kalau kamu pernah membaca sebuah artikel mengenai hidup dan mati Marchello Darmawan, maka kamu akan tahu jika seluruh perintah istri saya merupakan sebuah keharusan yang harus saya ciptakan untuknya. Meski ke neraka sekalipun, saya akan membawakan apa yang dirinya inginkan."

'Terlalu berbelit-belit,' batin El karena sedari tadi ia tak diberikan waktu untuk bicara. Panggung yang harusnya untuknya diambil alih oleh sang papi. Sungguh suatu kebiasaan yang buruk ketika dirinya ketahuan membuat masalah.

"Tapi, Sir, sa-ya, bukan seorang muslim."

"Apa?" Teriak El- kaget. Ia tidak pernah tahu jika wanita yang ia tiduri ternyata berbeda keyakinan dengan dirinya.

"Itu lah alasan saya menolak lamaran Anda, Pak." Jelas Angelica mengingatkan El pada masa-masa dimana wanita itu selalu menolak lamaran yang dirinya ajukan. "Kita berbeda keyakinan.. Jelas saya tidak bisa menikah dengan Anda."

'Ya Tuhan,' El tidak tahu harus berbuat apa untuk anaknya nanti. Ia sangat menginginkan janin itu terus hidup dan dilahirkan ke dunia. Menempati kursi penerus singgasana keluarga Darmawan selanjutnya.

"Kalian bisa menikah di sini. Semua persyaratan biar saya yang mengurus atau kalian bisa menikah di Hongkong, yang terpenting saat ini kamu ikut kami pulang ke Indonesia."

"Pi, ini masalah keyakinan." Ucap El ragu sembari menatap sang papi. Ia tahu jelas tembok penghalang tersebut terlalu kokoh untuk diruntuhkan.

"Lalu?!" Alis Chello terangkat ke atas. "Apa masalahnya?!" tanya pria itu dengan santai. "Dia membawa keturunan pertama dari tiga keluarga besar El. Darmawan, Maesaty dan Mahendra ada pada diri janin itu. Lakukan saja perintah Papi! Perbedaan keyakinan bukan suatu hambatan untuk saling mencintai." Tegasnya. Di Indonesia sendiri banyak orang yang menikah dengan keyakinan berbeda.

Kepala Angelica berputar. Kepalanya menjadi sangat berat setelah mendengar penuturan dari kakek janin di dalam kandungannya. Perdebatan ayah dan anak di depannya membuat kepalanya nyeri. Angelica mendadak terkulai lemas di atas sofa yang ia gunakan duduk— Wanita itu kehilangan kesadarannya. Ia pingsan.

"Pi, Angelica!" Pekik El. Ia bergegas bangkit, menyusul Angelica di sofa yang sama.

"Kamu angkat dia, El! Pesawat pribadi kita menunggu. Papi akan usahakan kita mendapat landasan untuk flight. Urusan lain biar orang-orang papi yang mengurus."

"Kita bawa paksa dia?!" tanya El polos. Terkadang pria itu memang bertingkah mirip seperti Maminya.

"Memang kalau dia pas sadar kita bisa bawa dia pulang ke Indonesia?!"

"Belum tentu, Pi!"

"Udah! Nggak ada banyak waktu! Cepet gendong dia!"

El mengangguk. Ia bangun dari tempat duduknya untuk melaksanakan titah sang papi. Akan mudah memang jika membawa Angelica ketika dalam keadaan tak sadarkan diri. Wanita itu tentu tak akan melakukan perlawanan, berbeda halnya jika matanya terbuka. El sendiri tak yakin akan itu.

Kamu terasa lebih ringan dari malam itu Angelica. Apa kehamilan membuat kamu sulit selama ini?

Summer DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang