1

3.5K 208 2
                                    

It's hard to forget someone who gave you so much to remember

Nggak beruntung banget deh, kalau mudik Lebaran malah mati gaya nggak bisa ke mana-mana gini. Gara-gara Nita, nih! Sahabatku yang pengkhianat ini dengan teganya menghilang tanpa pemberitahuan. Padahal aku sudah berdandan secantik mungkin lho, demi bertamu ke rumahnya. Ini penting. Bukan karena aku overly fashionable sampai tahap fashion geek. Bukan! Tapi karena ini sudah jadi kebiasaan. Setiap akan bertamu ke rumah Nita, entah di rumah orangtuanya atau rumah pribadinya di Jakarta, aku selalu memberikan perhatian ekstra pada penampilanku. Kalau dulu sih, alasan utamaku untuk membuat 'seseorang' terkesan. Tapi kalau sekarang? Nggak, deh! Aku nggak ingin membuat kesan apa pun karena aku juga nggak mau menarik perhatian siapa pun. Aku hanya tidak mau penampilanku memancing komentar negatif. Dan aku juga nggak mau memberi alasan sedikit pun pada orang itu untuk mengkritikku.

Itu sebabnya aku butuh keberadaan Nita. Karena sudah bertahun-tahun aku menjadikan sahabatku itu sebagai alasan utama kedatanganku ke rumah ini. Memangnya aku mau pakai alasan apa lagi? Nggak mungkin kan, aku datang untuk mencari mama dan papa Nita? Jadi, kalau sekarang Nita si alibi utama tidak ada di sini, kebayang kan, bagaimana horornya aku? Seperti orang yang berada di waktu dan tempat yang salah.

Memang sih, ujung-ujungnya terpaksa aku beramah-tamah dengan keluarga besar ini. Kalau aku bilang keluarga besar, itu memang besar banget. Mulai dari orangtua, kakek dan nenek, hingga om, tante, sepupu, dan ponakan. Nita pernah bilang kalau rumahnya sudah mirip pasar kaget saat Lebaran. Kalau dipikir-pikir, iya juga, sih.

Menghadapi hal seperti ini sebenarnya mudah saja bagiku. Karena persahabatanku dengan Nita yang berlangsung sejak SMP membuatku mengenal dengan baik keluarga ini. Aku cukup akrab dengan Kak Dewi yang usianya terpaut tiga tahun di atas kami. Satu-satunya masalahku adalah kakak sulung Nita, laki-laki bernama Bram, yang tak pernah mau berusaha menutupi ketidaksukaannya padaku.

"Aduh, Nak Sissy, kasihan sekali sudah repot-repot datang, Nita malah sedang pergi," kata mama Nita lembut. "Kapan sampai, Nak?"

"Malam takbiran, Bu," jawabku sopan dengan senyum semanis mungkin. "Maaf, saya tidak tahu kalau Nita sedang pergi ke Banyuwangi. Dia nggak bilang apa-apa. Malah saya tahunya dari Kak Dewi barusan," kataku. Alibi itu penting. Karena hubungannya dengan gengsi. Ya, nggak?

"Iya, Nita pergi habis salat Id kemarin," wanita di hadapanku melanjutkan kata-katanya dengan suara yang lembut mengalun. Memandang wajah mama Nita ini, membuatku selalu terheran-heran, bagaimana mungkin dari rahim makhluk selembut ini bisa lahir monster sinis tak berperikemanusiaan seperti Bram!

"Iya. Sepertinya Nita lupa mengabari. Atau tidak sempat karena ribet dengan anak-anak," kataku, lebih untuk menghibur diri sendiri dari rasa kesal karena ulah sahabatku yang tak bertanggung jawab. "Sebenarnya kami memang sudah janjian akan ketemuan hari ini. Di sini," aku menjelaskan, demi menaikkan harga diri sedikit. Malu dong, kalau sampai ada yang menganggapku desparate banget ingin ke sini. Siapa tahu ada yang sudah tidak sabar ingin segera menjatuhkanku di depan orang lain? Seseorang yang kemungkinan besar sudah melihat kedatanganku. Bahkan sejak aku memasuki pintu depan tadi.

"Apa kalian, manusia-manusia yang mengaku berperadaban tinggi ini, tidak kenal dengan teknologi hp untuk sarana komunikasi?" tegur suara sengak yang tiba-tiba saja muncul dari belakangku.

Aku menoleh dengan cepat. Tepat seperti dugaanku. Bram berdiri di sana dengan gaya congkak seperti biasa.

"Ah, kalian anak-anak muda. Ngobrol saja berdua, ya," kata mama Nita tiba-tiba. "Bram, temani Sissy, ya. Mama menemui tamu yang lain dulu."

Dengan ucapan itu, aku ditinggal sendiri, merana menghadapi laki-laki di depanku ini. Ya Tuhan, lelucon ini sungguh tak lucu.

"Aku benar-benar nggak tahu kalau Nita pergi. Kami sudah janjian sejak di Jakarta. Kupikir rencana kami tidak berubah," kataku pada Bram. Kalimat yang segera kusesali. Aku nggak harus menjelaskan apa pun padanya, kan?

Just The Person I Loved Before (Tersedia Di Toko Buku) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang