4

1.8K 186 1
                                    

I've lost control again

Suasana bandara yang bising menyambut kedatangan kami. Meskipun tidak berdesakan, namun ruang yang tersedia di lorong kedatangan ini tergolong sempit untuk jumlah penumpang sebanyak ini. Kondisi ini memaksaku untuk berada cukup dekat dengan Bram. Lagi-lagi aku dibuat mabuk oleh parfum pria itu, karena waktu hampir satu jam berada dekat dengannya tak membuatku lebih kebal. Indra penciumanku sedang berpesta pora menikmati aromanya yang terlalu keras, tanpa harus repot-repot mempertimbangkan akal sehatku. Ketika aku menundukkan kepala, tertangkap oleh pandanganku otot lengan Bram yang sedang membawa koperku. Kali ini giliran mataku yang menikmati pemandangan kokohnya lengan-lengan itu. Ha! Sepertinya satu per satu anggota panca indraku mulai berkhianat!

Kalau ditanya apa saja yang telah kulakukan selama penerbangan tadi, apakah aku akan ditertawakan kalau aku jawab tidur? Karena memang itulah yang aku lakukan. Setelah beberapa menit kege-eran menunggu Bram akan memperlakukanku sebagaimana manusia normal, dengan obrolan dalam bahasa manusia yang normal, dan ternyata laki-laki itu hanya menoleh sekilas ke arahku sambil mengangkat sebelah alisnya, akhirnya aku pun putus asa. Jadi aku memutuskan untuk menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Aku baru sadar ketika Bram mengguncang bahuku pelan, sambil mengatakan bahwa pesawat akan mendarat sebentar lagi. Dan aku pun tak mau rugi. Kumanfaatkan kesempatan ini dengan menampilkan wajah bangun tidur setengah sadar, meskipun aku sudah sepenuhnya bangun. Aksi yang membuahkan hasil. Karena dengan segera Bram mengambil koperku dan menentengnya. Hingga sekarang.

Dalam perjalanan panjang menuju pintu kedatangan, Bram dengan setia menjajari langkahku. Dia tetap tak mengajakku bicara. Namun hal ini kuterima saja dengan penuh syukur. Minimal aku tidak sendirian, kan? Sebenarnya kalau kupikir lagi, kakak Nita ini tidak sepenuhnya menjengkelkan, kok. Khas anak sulung, dia terbiasa mengurus orang-orang yang lebih muda. Dulu, ketika dia menolongku mencari tempat tinggal, dia juga melakukannya dengan serius. Hanya karena dia tak menyukaiku, bukan berarti dia tidak bersungguh-sungguh. Bram memilih diam, tapi tak mengeluh. Dan selama ini pertengkaran yang terjadi antara kami sebenarnya lebih disebabkan oleh aku yang selalu membantah apa pun yang dikatakan Bram, serta membuat laki-laki ini hilang kesabaran. Bagi dia, orang sepertiku ini memang menyebalkan. Karena dia terbiasa dituruti, apa pun perkataannya, oleh kedua adik perempuannya.

Ketika tiba di area ban berjalan, Bram menarik lenganku. "Barengan aja," katanya.

"Oke," kataku singkat dan mengikuti laki-laki itu dari belakang. Memangnya aku bisa jawab apa? Koperku ada sama dia. Nggak mungkin kan, kalau aku menolak? Bodoh namanya kalau menolak bantuan. Apalagi dalam situasi ramai seperti ini. Tubuh Bram memang tidak besar, namun posturnya yang tinggi ternyata cukup membantu dalam menembus kerumunan penumpang yang sedang antre menunggu barang bawaannya. Dibandingkan aku yang memiliki ukuran badan lebih kecil, yang bisa dipastikan akan segera terpelanting dalam hiruk pikuk seperti ini.

"Tumben kamu nurut," katanya tak terduga.

Kan? Aku jadi terprovokasi. "Apaan sih, Bram? Nurut salah, bantah salah," omelku. Omelan yang hanya ditanggapi dengan cuek oleh Bram. Mati gaya, aku pun mengikuti Bram mengamati barang-barang yang berjalan pelan di hadapan kami.

"Ada yang jemput kamu?" tanyanya singkat.

"Nggak usah basa-basi deh, kalau sekadar pengisi waktu. Aku sudah biasa dicuekin, kok. Setelah hampir satu jam nggak ngajak ngobrol, aneh aja kalau tiba-tiba nanya nggak penting begitu," cerocosku tiba-tiba tanpa sempat mikir. Aku menyesal secepat aku menyelesaikan kalimat-kalimatku yang kuakui, sangat tidak bermutu ini.

Welcome to reality!

"Aku tanya beneran sama kamu," geram Bram.

Nah!

Just The Person I Loved Before (Tersedia Di Toko Buku) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang