I didn't become heartless. I just become smarter. I'm not depend on someone else
Aku menjalani rutinitas hidupku yang sederhana. Dimulai setelah salat Subuh, aku akan melanjutkan aktivitasku bersih-bersih apartemen. Retno? Awal-awal dia membantu. Tapi lama-lama dia memilih menghindar dari rutinitas ini. Apakah aku marah? Semula memang aku sempat marah. Tapi sekarang aku kebal. Realistis saja sih, bersih, rapi, dan teratur itu soal mental. Nggak bisa dipaksakan pada orang yang menganggap remeh hal itu. Jadi kupilih jalan praktis dengan meminta bayaran lebih sebagai uang kebersihan. Apa dibayar? Ah, sudahlah! Dia salah satu makhluk out of the box yang pernah kukenal. Sejauh ini aku masih bisa mentoleransi kekurangannya. Jadi aku nggak masalah.
Retno memang memandang aneh hobiku dalam membersihkan sesuatu. Tetapi dia bisa apa selain menurut tanpa protes? Meskipun dia mengaku bahwa sampai saat ini masih belum bisa memahami kenapa aku bisa melakukan segala aktivitas, yang menurutnya kegiatan berulang tanpa progres. Karena serajin apa pun aku dalam membersihkan rumah, sia-sia saja karena akan kotor lagi. Padahal bisa saja sih, aku membalik logikanya dengan kalimat: ngapain kamu mandi, toh keringetan lagi? Atau, ngapain gosok gigi? Toh, habis makan juga kotor lagi?
See? Ada perbedaan prinsip dasar tentang kebersihan antara aku dan dia. Tapi aku ogah buang-buang tenaga buat ribut. Nggak penting, karena pemahamanku dan dia beda. Karena sensibilitasku dan dia juga beda. Dia bisa cuek aja dengan kamarnya yang seperti gudang. Dia juga nggak merasa lho, kalau lantainya itu berdebu apa kagak. Kalau aku sudah cerewet banget, paling juga dia akan menggodaku dengan menyebutku sebagai 'Ndoro Putri'. Dan dengan kesal aku bales aja "Emang beda sih, selera ningrat sama jelata!" Masa bodoh banget dia mau tersinggung. Terserah! Dia juga seenaknya berjorok-jorok di rumahku, kan?
Aku memang suka banget beres-beres dan bersih-bersih. Aku seperti merasakan sensasi tersendiri setiap melihat gelas kotor yang aku cuci menjadi bening, kesat, dan wangi. Rasanya puas melihat benda-benda cantik dan lucu itu berjajar rapi di rak. Aku juga suka sekali aktivitas memilah baju-baju kotor dan mengeksplorasi semua fitur pada mesin cuci. Aku puas melihat pakaian katun yang biasanya tertempel noda keringat kecokelatan pada bagian kerah dan lengan, terlihat bersih ketika aku pindahkan ke dalam keranjang. Aku menyukai harum sabun cuci dan pelembut pakaian. Berlama-lama membenamkan wajahku pada kelembutan kain-kain yang sudah kering dan siap diproses lebih lanjut. Aku juga menyukai aktivitas menyeterika pakaian tersebut sehingga menjadi licin dan rapi. Rasanya seperti keajaiban melihat bagaimana benda yang bentuknya tidak mengalami evolusi yang berarti itu bergerak lincah di permukaan bahan, menghalau segala kusut yang ada.
Eh, aku bukan clean freak, kok. Aku hanya menyukai kebersihan dan kerapian yang wajar. Aku membiasakan diri untuk selalu mengembalikan barang pada tempatnya. Misalnya, setiap masuk rumah, secara otomatis aku akan meletakkan sepatu di rak yang ada di dekat pintu masuk, lalu berjalan ke ruang tengah untuk meletakkan kunci kendaraan pada cantelan khusus yang aku siapkan di salah satu sisi dinding. Tas dan buku, kalau ada, segera aku letakkan di rak khusus buku dan aneka perlengkapan yang berada di ujung ruangan. Barulah aku masuk kamar, untuk meletakkan dompet dan aksesori seperti kacamata di meja rias.
Kesukaanku dalam menata rumah membuat Nita menjadi pelanggan tetap dalam daftar teratas orang yang meminta tolong. Pada akhir bulan ini dia meneleponku.
"Bantal kursi sofaku sudah buluk, Sy. Ayo dong, Sabtu ini datang ke rumahku. Bantuin ya, menentukan perabot yang ada. Kemudian temenin aku belanja," katanya dengan manis. Kebiasaan yang sudah melekat erat dalam pribadi sahabatku ini. Kesan anak bungsu tak pernah lepas darinya.
Aku berpikir sejenak. Sebenarnya akhir pekan ini waktu yang sudah kujanjikan untuk membereskan tempat usaha Hanif. Jadwal akhir pekanku lumayan padat sebenarnya. Aku jenis orang yang suka mencari kesibukan. Mungkin karena lajang dan punya banyak waktu, jadi aku terbiasa kreatif menciptakan kegiatan agar tetap sibuk. Tapi kalau dihadapkan pada dua pilihan antara Hanif dan Nita, aku memilih untuk mendahulukan Nita. Bukan karena alasan serius atau apa, tapi lebih kepada kepribadian antara mereka berdua yang membuat aku harus memprioritaskan sahabatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Person I Loved Before (Tersedia Di Toko Buku)
RomanceAku Sissy. Jatuh cinta pertama kali kepada Bram, kakak sahabatku. Cinta pertama begitu berkesan. Cinta remaja, tak berbalas, dan sangat membekas. Mungkin karena semua serba pertama. Pertama jatuh cinta, dan pertama patah hati. Cinta yang aku bawa h...