Between 'boyfriend' and 'boy friend' you see the little space that is called 'friend zone'
Aku memasuki tempat tinggalku yang minimalis dengan rasa rindu yang malu-malu muncul dari hatiku. Rumah orangtuaku memang nyaman, dan aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku. Namun tempat tinggalku ini membuatku merasa merdeka, dan merasa lebih diterima apa adanya. Tak akan ada yang mempertanyakan mengapa aku harus melakukan sesuatu dan apa alasannya. Aku bisa bermalas-malasan, atau sebaliknya, rajin serajin-rajinnya, tanpa ada yang berkomentar 'tumben malas' atau 'rajin amat'.
"Sissy!" jerit Retno yang tiba-tiba muncul begitu aku mengunci kembali pintu masuk.
Aku tertawa mendapati penyambutan penuh antusias dari teman sekaligus penyewaku. Retno nggak mudik karena katanya hubungan antaranya dan orangtua buruk.
"Kangen banget deh, sama kamu. Lama amat sih, mudiknya?" cerocosnya sambil celingukan meneliti aneka kardus yang aku letakkan di ruang duduk.
Ih, dasar!
"Kamu kangen aku apa kangen oleh-olehku, sih?" tanyaku sok judes.
"Dua-duanyalah!" Retno nyengir. "Kalau nggak ada kamu, aku kelaparan! Mau beli, duit cekak. Mau masak, yah, tahu sendiri gimana skill masakku."
"Makanya, jadi orang jangan malas. Belajar masak, gih!" omelku entah untuk yang kesekian ratus kali.
"Hehehe ... ngapain belajar masak. Kan, ada kamu?" jawaban yang selalu sama.
Aku mencibir. Yang ditanggapi Retno dengan cuek. "Eh, kotak mana nih, yang boleh aku buka?" tanyanya.
Satu hal yang aku suka dari Retno, dia menghargaiku sebagai pemilik rumah dengan selalu meminta izin atas barang-barangku. "Buka kotak yang tanggung itu. Di dalamnya ada kotak tupperware gede warna biru. Nah, itu buat kita," aku menjelaskan.
"Yang gede banget itu pasti buat Hanif, deh," komentar Retno sambil menunjuk kotak yang lain.
"Teman sekantor, Budhe!" protesku. Aku memanggil Retno dengan sebutan Budhe kalau sedang sebal, untuk menunjukkan kalau dia lebih tua dariku. "Nggak cuma Hanif."
"Spesial buat Hanif juga nggak ada yang melarang, kok," Retno mulai asyik membuka kotak. "Kalian malu-malu gitu. Kan, sudah 21 plus plus? Buat apa lagi ditunda-tunda pengumumannya."
"Enak aja pengumuman," semprotku mulai kesal. "Baru teman rasa sodara juga. Aku nggak kayak kamu, Ret! Aku masih suci, sesuci pantat bayi!" kataku yang disambut tawa oleh Retno. "Awas ya, kalau ntar aku cek rumah ternyata jorok!" ancamku.
Aku dan Retno, kalau dilihat secara fisik, memang benar-benar bertolak belakang. Retno sangat feminin. Dengan wajah ayu, lekuk tubuh lembut, gerak-gerik yang anggun gemulai, bahkan rambutnya pun lurus, panjang, hitam legam, dan tebal. Kecantikannya memang mainstream. Apalagi ditunjang dengan selera fashion Retno yang memang nggak jauh-jauh dari jenis dress yang lembut melayang, atau baju-baju dengan hiasan bunga di mana-mana dalam aneka warna pink, salem, dan sebangsanya.
Profil kecantikan klasik nan anggun kayak gini nih, selera Bram banget. Sumpah aku nggak bohong. Dulu Nita sering banget menunjukkan foto-foto cewek Bram. Buat iseng aja, sih. Buat bahan ngobrol. Sama kayak kalau omongin artis siapa pacaran sama siapa. Buat seru-seruan. Selama aku satu sekolah dengan Nita, sejak SMP sampai SMA, Bram sudah tiga kali ganti pacar. Waktu kuliah, pacarnya bernama Shanti. Lulus kuliah dan selama jadi dokter muda, dia pacaran dengan Putri. Terakhir dia pacaran dengan Ayu. Kalau dipikir lagi, norak banget deh, sampai rela stalking seperti itu.
Makanya aku bisa menyimpulkan kalau Retno akan sangat sesuai dengan selera Bram. Kalau saja mereka sempat bertemu, hehehe....
Aku tidak mengasihani diri sendiri dengan mengatakan aku ini jelek. Wajahku lumayan, kok. Kulitku, meskipun nggak putih, tapi termasuk jenis yang bersih. Kata Nita, kulit wajahku seperti bayi. Tubuhku juga ideal, yang sejauh ini belum pernah bermasalah dengan berat badan. Tapi kalau untuk urusan lembut dan feminin, terus terang, itu bukan gayaku. Dan meski aku pernah jatuh cinta terkewer-kewer pada Bram, aku nggak bakal mau berubah feminin demi dia. Mending putus dari pada maksa. Tapi sayangnya aku nggak sampai mengalami nasib harus putus dengan Bram. Bagaimana mau putus, nyambung aja nggak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Person I Loved Before (Tersedia Di Toko Buku)
RomanceAku Sissy. Jatuh cinta pertama kali kepada Bram, kakak sahabatku. Cinta pertama begitu berkesan. Cinta remaja, tak berbalas, dan sangat membekas. Mungkin karena semua serba pertama. Pertama jatuh cinta, dan pertama patah hati. Cinta yang aku bawa h...