2

2K 196 0
                                    

Do you still love him? No. But I love the memory of him

Aku sudah berada di rumah, berleha-leha di kamar yang telah kudiami sejak masih anak-anak, ketika hp-ku bergetar. Melihat nama Nita yang muncul di layar, emosiku langsung tersulut. Dengan gemas aku menerima panggilannya.

"Halo, Sissy sayang! Minal 'Aidin wal Faizin ya! Soooorrrryyyy," sahut suara riang krenyes-krenyes di ujung sana, plus suara tawa yang membuatku jengkel setengah mati.

"Hei, monyet! Bilang dong, kalo kamu nggak di rumah! Sialan! Keterlaluan deh, ngerjain aku. Mati gaya nih, aku nyamperin rumah kamu!" semprotku kesal.

"Oh, My God! Sissy, maaf banget, aku mau ngakak dulu!" Nita terbahak-bahak. "Mama barusan telepon dan menceritakan semuanya. Ya ampun...."

Sementara makhluk kurang ajar yang menyamar menjadi sahabatku itu tergelak di ujung sana, aku memuaskan diri dengan ngomelinya.

"Dan Mas Bram...." Nita ngakak lagi. Nih, anak benar-benar minta disolder mulutnya! "Aduh Sissy, maaf ya, say, bener deh, aku nggak nyadar...."

"Kamu tahu nggak bagian terburuknya? Mama kamu minta Bram buat temani aku. Sial banget nggak itu? Itu sama aja mendorongku ngadepin buaya!" raungku dengan suara yang tanpa sadar sudah meningkat hingga tiga oktaf. "Bahkan mama kamu menyarankan agar Bram nganterin aku pulang! Kebayang nggak kalau itu bener-bener kejadian? Yang Terhormat Bapak Dokter Ibram Hariel es pe o ge, mau nganterin Sissy Amelia? Pasti akan terjadi hujan petir!"

Kudengan suara Nita menjerit histeris oleh tawa.

"Ngakak deh, sono, sampe puas! Ntar kalo udah waras, telepon aku lagi. Bye!" kututup telepon dengan marah.

Lima belas menit kemudian Nita menelepon lagi. Meskipun masih cekikikan, tapi paling tidak, kali ini dia lebih waras. Nita mengulang lagi permintaan maafnya karena lupa memberi tahu tentang perubahan rencana ini. Tentu saja aku ngomel lagi. Bukannya aku membesar-besarkan masalah. Tapi aku berusaha mengingatkan dia kembali, entah untuk yang keberapa kali, bahwa penting baginya untuk memperhatikan hal-hal kecil yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Kutekankan lagi pada sahabatku kalau dia bukan pelupa. Dia akan ingat andai dia mau sedikit saja bersikap lebih peduli dan mengurangi sikap masa bodohnya. Bram benar, seharusnya aku paling mengenal Nita dengan segala ketidakkonsistenannya. Juga Nita dengan segala kesembronoannya.

"Kalau yang kena orang seperti aku sih, sejauh ini, masih bisa maklum deh, Nit. Meskipun ini bener-bener ngeselin. Tapi kalau menimpa orang lain, dengan menimbulkan masalah lebih besar, gimana? "

"Iya, Sy, paham. Aku bener-bener minta maaf kali ini, Sissy sayang. Ntar aku juga bakal ngomong langsung sama Mas Bram soal kesalahanku. Biar kamu juga puas."

"Sombong! Emang kamu berani ngomong sama Bram?" ejekku. Tahu banget sih, aku kalau Nita paling segan sama kakaknya ini. Selain karena jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, Nita juga nggak berani macam-macam kalau berhadapan dengan Bram. Pria itu tipe kalem tapi tegas, terutama pada adik-adiknya.

"Yah, paling juga aku bakal diceramahin," kata Nita.

"Emang kamu mau balik kapan sih, Nit?" tanyaku.

"Dua hari lagi. Suamiku harus segera balik. Makanya kemarin harus segera ke Banyuwangi. Babysitter dan pembantu masih pulang kampung. Terpaksa aku jemput saudara suamiku dan memboyongnya ke Jakarta buat bantuin urus anak-anak. Kamu kapan balik?"

"Seperti biasa, hingga ke hari terakhir cuti dong," kataku bangga. "Pesawat hari Minggu siang, jadi nyampe di Jakarta sore hari. Senin aku sudah harus masuk kerja."

Just The Person I Loved Before (Tersedia Di Toko Buku) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang