Senandung aksara.

14 2 0
                                    

Dulu aku mendewa-dewakan dewasa, berdoa agar cepat-cepat lulus saja. Apalagi selama aku bersekolah yang kudapat hanya derita dan penindasan yang disengaja. Dulu aku mendewa-dewakan dewasa. Berkuliah atau bekerja, apa saja asal lingkungannya beda. Apa saja asal pergi melalang buana. Dulu aku mendewa-dewakan tanpa mengerti apa artinya, bagaimana rumitnya, bagaimana menyakitkannya menjadi seorang manusia dewasa.

Dewasa atau menua?
---
Berkali-kali dijatuhkan oleh semesta lewat cara dengan sedemikian perih.
Namun berkali-kali pula, dituntut untuk terus mampu berdiri kokoh di tengah badai kemelut yang tak kunjung surut.
Memang terkadang, apa-apa yang terjadi begitu sukar untuk di mengerti. Setidaknya pada titik terendah ini, siapapun bisa memahami maksud semesta. Bahwa bahagia dan sedih pasti akan hadir dan saling beriringan.

Lantas, nikmati saja, sesuai kapasitas nya. Jika sedih jangan hilang.
Jika senang jangan terbuai.
---
Sampai detik ini, sepertinya aku terlampau banyak mendengarkan orang daripada mencoba berdamai dengan hati sendiri. Sepertinya aku terlalu banyak menebar saran pada jiwa-jiwa yang sedang terpuruk sampai abai pada diri sendiri yang nyatanya lebih butuh dipeluk.

Berkoar-koar untuk terus bertahan pada hidup yang sedemikian rumit laksana jiwa yang paling bijaksana di semesta. Padahal dengan diri sendiri pun aku belum pernah menyapa, bahkan rupa dari permasalahan yang sedang kuhadapi juga tak tahu bentuknya seperti apa.

Ini bukan tentang pencarian cara untuk ku tetap bertahan di dunia ini.
Ini perihal aku yang tidak bisa mengenal diri sendiri-bahkan untuk seseorang yang kucintai.

Yang pasti, yang sedang kurasai saat ini, hanya sedih tanpa arti. Bila ditanya kenapa, aku pun juga tak bisa berkata-kata.

Dan kali ini akan kukatakan sebagian yang bisa kuungkapkan selagi belum terbunuh oleh luka.

Kepada kalian yang pernah menangis di pundakku, atau sekadar berkeluh kesah dalam beberapa waktu, aku mungkin akan memberi nasihat atau mungkin hanya mengusap air matamu. Tapi jangan salah artikan bahwa pada saat itu aku sedang bebas sebebas-bebasnya dari sembilu.

Jangan berpikir bahwa ketika aku mulai tertawa, aku sedang tidak dirundung nestapa. Aku pun juga terluka, hanya saja tidak seperti kalian yang mampu bercerita.

Sejatinya, aku tak pandai berbicara. Jadi jika suatu saat kalian menemukan diriku berkata sedang baik-baik saja, jangan pernah percaya, ya. Karena bisa jadi saat itu aku sedang membawa pedang di balik badan yang siap kutancapkan ke dalam dada kapan saja.

Dan ku yakin bukan hanya aku seorang yang merasakannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Calm down!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang