Malam ini, perasaanku lagi-lagi kacau. Sudah berjam-jam otakku tak menemukan apapun selain jalan buntu, serta jemariku yang membeku di depan layar ponselku untuk mengutarakan perasaanku yang sungguh sedang amburadul.
Aku pernah membaca pada sebuah buku fiksi hebat nan epik —yang entah mengapa tiba-tiba saja menyinggung hal ini —tentang bagaimana pikiran dan perasaan terpenting manusia acap kali tak terutarakan dan tidak dipahami.
Sekarang, barulah aku paham betul maksud dari kalimat tersebut. Perasaan pun pikiranku terlalu berantakan untuk ku keluarkan dalam untaian kata. Dan kalaupun aku mempunyai keberanian untuk mengeluarkannya, maka tulisanku malam ini akan sangat melenceng dari segala bentuk aturan menulis yang pernah ada di dunia ini.
Tetapi, aku akan mencoba mengungkapkannya dalam bentuk metafora saja;
Aku sedang mengikuti lomba maraton lari. Hanya saja, kedua kakiku melawan arah.
Penghujung petangku masih memukau. Hanya saja, tak lagi hangat.
Duniaku tetap berputar.
Hanya saja, tidak pada porosnya.Perasaanku sekacau itu.
Aku sekacau itu.