BAGIAN ENAM

513 69 2
                                    

Mencintai dan menerima luka darimu, itu adalah urusanku.
Yang terpenting jalankan saja peranmu.
Untuk terus menyakitiku.

***

"KITA itu sebagai kaum cowok harus memperlakukan cewek dengan baik. Contohnya kita harus menjemput dan mengantarkan dia dengan selamat. Mengajaknya makan, jangan cuman nanya, 'udah makan belum?'. Helah! Adik gue yang masih TK juga bisa nanya begitu. Di sini kejantanan kita akan dipertanyakan. Harusnya kita sebagai cowok yang berakal sehat memperhatikan mereka lewat perbuatan bukan hanya perkataan. Karena cewek itu seperti berlian, mereka itu berharga."

"Lebay!" ucap Langit seperti biasa.

Pohon menghampiri langit, ia merangkul sahabatnya namun di tepis oleh Langit. "Eh bro, gue serius. Jangan sekali-kali lo nyakitin cewek, kena karma nyaho dah lo!"

"Sok lo! Kayak punya cewek aja!" cibir Senja.

"Em...intinya lo berdua percaya aja sama orang yang lebih tua dua belas hari dari kalian."

"Sadar juga lo tua!" ujar Senja.

"Alhamdulillah gue emang tua dari kalian berdua. Dengan Langit tua gue tiga hari, dan dengan lo sembilan hari. Digabung jadi dua belas hari, pinter kan gue?!"

"Kok teman lo pintar banget ya, Lang? Kelewat pintar malah." Ujar Senja menatap ke arah Langit. Langit hanya mengedikkan bahunya.

"Alhamdulillah, akhirnya gue bisa ngalahin kepintaran Langit." Oliver membasuh wajahnya dengan telapak tangan yang kosong.

"Perlu lo berdua ketahui, kalo sebenarnya gue memang pinter melebihi Langit. Tapi gue sengaja merendah aja, biar gak sombong."

"Semerdeka lo aja dah! Pusing gue lama-lama temanan sama lo. Bukannya tambah hari tambah waras, eh ini malah tambah stress!" keluh Senja.

^^^^^

Dari arah yang berlawanan Biru melihat Langit dan Pelangi tertawa, sungguh Biru tidak pernah melihat adanya tawa di wajah Langit saat bersamanya. Jangankan tawa, senyum untuknya saja Langit tidak pernah. Hanya bersama dengan Pelangi, Langit nampak begitu bahagia.

Biru ingin seperti Pelangi. Biru ingin jadi alasan Langit tertawa. Biru ingin jadi alasan Langit bahagia. Biru menginginkan itu, tapi Biru sadar siapalah dia? Dia tidak berhak untuk menuntut rasa pada Langit. Biarlah semua berjalan dengan semestinya.

Biru membalikkan badannya, baru satu langkah, seseorang memanggilnya. Dengan terpaksa Biru menghadap orang tersebut dan mengangkat kedua sudutnya bibirnya untuk tersenyum.

"Kamu pulang naik apa?" tanya Pelangi.

Biru mengangkat kepalanya, menatap Langit. Tidak ada senyuman atau tawa seperti tadi. Wajahnya kembali datar dan dingin seperti biasa. Mungkin hanya Pelangi yang membuat Langit bahagia.

"Naik angkot," jawab Biru.

"Kamu bareng Langit aja, Ru, sekalian temenin dia ke suatu tempat. Aku gak bisa nemenin dia karna aku ada urusan mendadak."

Baru hendak menyahut, Pelangi sudah lebih dulu meninggalkan mereka berdua. Mendadak keadaan menjadi hening. Biru mengangkat kepalanya menatap Langit.

"Langit, ayo pulang," ajak Biru.

"Pulang aja sendiri!" sahutnya ketus dan pergi meninggalkan Biru yang masih mematung.

Biru menatap punggung Langit dari belakang. Mengapa Langit selalu menyakitinya? Mungkin sampai kapanpun Biru memang tidak bisa menggapai dirinya. Air matanya menetes begitu saja, dengan cepat ia menghapusnya. Ia tidak boleh menangis di sini, ini masih kawasan sekolah. Sekuat tenaga Biru melanjutkan langkahnya untuk menunggu angkutan umum.

BIRU LANGIT [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang