"I fell in love with football as I would later fall in love with women: suddenly, uncritically, giving no thought to the pain it would bring." - Nick Hornby, "Fever Pitch", hal. 7 (Penguin Books Limited)
Pernah saya terjebak suatu perdebatan dengan tiga orang teman. Perkara sepak bola. Topiknya adalah tentang kesejatian seorang suporter dalam mendukung suatu kesebelasan.
Suara pertama mengatakan bahwa para penggemar klub-klub yang baru nongol di blantika sepak bola, lantas kebetulan klub kaya, tidak dapat dikatakan sebagai suporter sejati. Para pendukung tim-tim Manchester City, Chelsea, atau PSG tidak layak masuk kategori ini.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tak peduli apapun timnya, berprestasi atau medioker, punya tradisi atau tidak, selama klub tersebut merupakan klub Eropa dan bukan klub lokal, maka masuk dalam kategori suporter abal-abal. Penggemar plastik, meminjam istilah orang-orang Inggris.
Suara selanjutnya mengatakan, tidak peduli wujud klub yang didukung, tapi selama si penggemar tahu betul riwayat, tradisi, serta filosofi klubnya, maka orang seperti ini boleh masuk dalam kategori "suporter sejati".
Ini seharusnya tidak perlu dibikin repot. Mengapa? Karena saya punya keyakinan bahwa saat seseorang mendukung satu tim, pemicunya begitu kompleks.
Yang menarik, betapa jebloknya prestasi klub yang didukung, Anda pasti jarang mendengar penggemar tersebut minggat menjadi pendukung klub lain !!!
Bagaimana halnya jika orang tersebut memiliki klub favorit di berbagai liga? Ini lain soal. Seorang suporter Manchester United/Ac Milan (hehehe) bisa saja turut menggandrungi Real Madrid/ Barcelona, karena keduanya jarang bertemu di partai-partai kompetitif. Seandainya bertemu pun (dan ini kemungkinannya sangat kecil), ia pasti dengan mudah memilih tim yang pertama kali ia dukung.
Kerasnya suatu liga disertai pula dengan percekcokkan antarpemain, atau adu mulut antarpelatih. Kita bisa ikut-ikutan marah saat melihat suporter Ac Milan contohnya mengacungkan ketujuh jarinya sebagai tanda, "kamilah raja Eropa!"(atau Livepool heheh)
Padahal kita mengikuti Liga Italy, misalnya, setelah 2007, periode terakhir Milan berjaya di Eropa. Sepak bola memberikan hal-hal sentimentil nan aneh seperti ini, memang. Maka menjawab pertanyaan 'apa serunya, sih, nonton bola?' adalah sesuatu yang sulit.
Orang itu tidak merasakan apa yang kita rasakan.
Orang itu tidak merasakan bagaimana rasanya menjadi pendukung Tottenham, yang sebagus apapun tim yang mereka punya, selalu berada di dalam bayang-bayang Arsenal
Orang itu tidak tahu rasanya jadi pendukung AC Milan, yang belakangan mengalami periode jatuh-bangun, padahal sering menjadi raksasa sepak bola di masa silam (Mulai bangkit).
Orang-orang itu tidak tahu.
Sehubungan dengan nuansa Hari Valentine, saya ingin berpendapat: cinta terhadap sesorang tiada berbanding dengan cinta terhadap klub sepak bola.
Cinta tanpa syarat
Bisakah kita menyalahkan seorang bocah yang lalu gandrung pada Chelsea/city dan PSG karena tidak sengaja menonton tim kosmopolitannya era '90-an? Bocah itu tidak tahu konsep Liga Inggris/Liga eropa. Belum mengerti peraturan sepak bola. Tetapi daya tarik Gianfranco Zola, Gianlucca Vialli,Marco van Basten dsb serta keterbatasan informasi, menyihirnya untuk kemudian menobatkan diri sebagai pendukung The Blues/Thecitizen.
Apakah bocah itu akan menyangka jika klub pujaannya akan menjadi salah satu klub yang paling dibenci di Inggris karena investasi Roman abramovich & Korsosium asal timur tengah ? Tentu saja tidak. Aneh kiranya jika kemudian kita menyalahkan pilihan sang bocah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMUA TENTANG BOLA
Cerita PendekHanya Federasi kita yang suka lucu, makanya setiap kegiatan atau keputusan ya selalu nyeleneh.