Prolog

3 1 0
                                    

     Butiran air hujan menerpa kaca jendela Bus yang aku tumpangi. Embun lembut terbentuk disana. Kuusap permukaan jendela, kemudian terlihat jalanan kota Bandung yang ramai kendaraan, gedung tinggi yang sudah terbentuk dan berdiri kokoh, serta dibeberapa tempat terbangun kedai pinggiran jalan penjual aneka barang atau makanan yang mempertahankan khas Sunda. Bibir pulm-ku melukiskan senyuman lebar yang membuat lesung pipiku terpahat jelas. Terbesit hasrat untuk mengabadikan moment ini. Kuraih ponsel pintarku dan kubidik beberapa gambar sampai mendapatkan gambar yang menurutku sempurna. Untuk kedua kalinya bibirku melukiskan senyuman.

     Bus yang kutumpangi melaju semakin lambat lalu berhenti. Suara cukup berisik dari mesin Bus yang berhenti sukses membangunkan sebagian teman sekelasku. Bus yang semula hening kini menjadi ramai dengan suara bincangan teman-teman. Namun orang yang hampir seharian duduk di sampingku belum kunjung sadar dari mimpi yang sepertinya indah itu.

     "Perhatian untuk semuanya! Dikarenakan Hujan, kita jadi terlambat mengunjungi beberapa tempat tujuan. Waktu tak memungkinkan sehingga kunjungan ke Asia-Afrika dibatalkan." Ujar Ibu Intan selaku Wali kelas. Fakta itu sukses membuat seisi Bus termasuk aku merasa kecewa.

     "Tapi kalian masih bisa menikmati kota Bandung ini. Saat ini keberadaan kita sedang dekat dengan Alun-alun Bandung. Ibu izinkan kalian untuk berjalan-jalan disekitarnya. Ibu tetap ingatkan pada kalian, bagi Muslim jangan meninggalkan kewajiban kita untuk beribadah.  Setelah turun dari Bus alangkah baiknya kita langsung menuju Masjid untuk beribadah." Tutur bu Intan yang terdengar mengasyikan. Anak-anak tak ada yang menolak dengan yang diucapkan Ibu Intan. Namun sang ketua murid berdiri dan mengajukan pertanyaan.

"Di luar sedang hujan, apakah kami boleh bermain hujan?" Pertanyaan itu mendapat pengikut yang banyak. Hampir seluruh murid mengiyakan. Termasuk aku.

"Boleh. Tapi dengan syarat. Ketika kembali ke Bus, baju yang kalian pakai harus kering. Bagaimanapun caranya." Ucap Bu Intan sambil tersenyum jahil.

"Kita tak bawa baju ganti. Tak mungkin kita harus berjemur, karena tak ada panas dari matahari." Ujar Ronal, seksi Olahraga di kelasku. Perkataan Ronal pun mendapat banyak pengikut. Kecuali aku.

      Seisi bus menjadi ricuh untuk beberapa saat, sampai terlintas pemikiran spontanku yang menanggapi syarat dari Ibu Intan. Ini seperti Riddle yang harus aku pecahkan. Setelah mendapat jawaban, ku berinisiatif untuk berbicara.

"Teman-teman, dengarkan aku. Kita bisa membeli baju baru pengganti baju basah untuk dipakai saat hendak kembali ke Bus dan melanjutkan perjalanan. Jika tak salah di sekitaran sini ada tempat perbelanjaan. Kita juga bisa membeli oleh-oleh dan mengisi perut kita dengan makanan." Ucapku meyakinkan. Sempat terjadi hening, sampai Ibu Intan bersuara.

"Yah, kalian bisa memakai ide cerdas dari Tamara." Setelah Bu Intan berucap, teman-teman kembali ricuh yang sepertinya menyetujui ide ku. Bu Intan tersenyum padaku lalu kubalas senyumannya.

"Setelah Magrib, kalian harus sudah kembali ke Bus. Saat di luar jangan ada yang sendirian, usahakan bergerombol. Kalian paham?"

"Paham Bu guru...." semua murid serempak menjawab.

     Satu persatu turun dari Bus dan segera berlarian melewati hujan menuju Masjid untuk berteduh. Syifa, temanku akhirnya bangkit dari alam bawah sadarnya. Ia mengerjapkan mata bulatnya yang lucu. Aku tersenyum menanggapi.

"Bergeraklah, kau menghalangi jalan keluarku." Ujarku pelan. Ia masih saja duduk santai di kursinya sambil menatap kearahku. Posisinya yang duduk dekat lorong otomatis menghalangi jalan keluarku.

"Masih ngantuk hm? Berapa lama lagi yang kau butuhkan untuk tidur?  Ya tak masalah jika kamu tidak ingin ikut jalan-jalan. Tapi setidaknya izinkan aku keluar."

"Ra?! Cerminku mana?" Sial, dia tak menghiraukan ucapanku. Yang ia lakukan hanya panik mencari cerminnya. Setelah dapat, ia langsung memeriksa keadaan wajahnya. Mata panda, rambut kusut, bedak luntur dan lipstik pudar. Itulah yang Syifa saksikan.

"Ya Tuhan wajahku kacau. Harus segera dibereskan." Ucapnya kemudian meraih tas makeup-nya. Dia merias kembali wajahnya. Sedangkan aku hanya bisa menunggu dia bergeser memberi celah untukku keluar.

"Sudah? Kita tak punya waktu lama. Aku yakin pasti kita sudah tertinggal rombongan."

"Sebentar lagi Ra...hey! Lipstiku belepotan ah kau ini!" Syifa protes karena dengan tiba-tiba aku menggerakkan tangannya agar segera berpindah.

"Cepat Geser Faaa... " Aku memaksa untuk keluar. Dan ya akhirnya berhasil juga.

"Ayo!" Kutarik tangan Syifa dan segera mungkin turun dari Bus.

     Hujan telah berubah menjadi Gerimis. Genangan air menyambut kami. Untung saja tempat kami berpijak sudah dilapisi papinblock sehingga tak terjadi gulat antara sepatu dan tanah basah.

     Di dekat Bus lain kulihat empat remaja seumuranku sedang berdiri menunggu aku dan Syifa. Perkiraanku mengenai tertinggal rombongan ternyata salah. Aldi, Caca, Dirga dan Fauzy, mereka adalah keempat sahabatku juga. Kami berenam satu kelas, hanya Alfabet nama depan ku dan Syifa berjauhan dengan mereka berempat. Kebetulan Bus yang kelas kami pakai jumlahnya ada dua dan diisi dengan setengah kelas.  Jadilah  kami ditempatkan di Bus terpisah.

     "Kalian lama sekali." Ucap Caca.
     "Kami kira kau tak akan turun dari Bus" Aldi bersuara.
     "Hampir saja kami pergi tanpa kalian berdua." Fauzy ikut-ikutan bersuara.

     Hanya Dirga yang diam. Ia hanya menatap kearahku. Tatapannya membuatku salah tingkah. Tapi untung saja aku bisa menahannya.

"Maafkan kami membuat kalian menunggu. Hari mulai gelap. Sebaiknya kita bergegas ke Masjid." Ujarku lalu berjalan mendahului kelima sahabatku.

                                    🍃

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hug The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang