LIMA : Bukti

60 15 0
                                    

Dianne POV



Selimut sudah menutupi hingga separuh wajahku. Tapi mataku masih juga tak mau tertutup. Jelas ada yang mengganjal di pikiranku.

"Aku tak akan bisa tidur, kalau terus begini!" ujarku kesal.

Kedua kakiku mencari sandal tidur tepat di sisi kiri tempat tidurku. Jelas aku tak akan bisa tidur kalau terus seperti ini. Setidaknya aku harus menemukan satu kesimpulan sementara untuk semua pertanyaan yang mengganggu ini.

"Apa pak Neil ada dua orang?" gumamku.

Layaknya setrika, kakiku melangkah bolak balik dari pintu hingga jendela kamar.

"Atau, hanya ada satu orang pak Neil, tapi dengan dua kepribadian?"

Kini jari tangan kananku terus memuntir helaian rambut di kepalaku. Rasanya di sekujur kulit kepala hingga ke ujung rambut, semua terasa menegang karena hal ini.

"Apa pak Neil memang pembunuhnya, seperti kata Ben?" gumamku lagi.

"Atau justru dia sedang dimanfaatkan seseorang?"

Dua pertanyaan terakhir memiliki efek gangguan jauh lebih besar pada pikiranku. Aku butuh banyak bukti. Semua ini benar-benar harus jelas. Sehingga aku tahu, kemana harus berpihak.

"Aku butuh banyak bukti tentang pak Neil"

***

TING TONG....

Aku berdiri mematung sembari menekan bel di pintu rumah keluarga Ben. Jujur, jika bukan karena aku sama sekali tak bisa tidur hingga sekarang, aku pasti akan datang lebih siang dari ini.

Ya, aku saat ini berdiri di depan rumah tetangga. Pukul 5 subuh. Langit bahkan belum menampakkan warnah merah saga. Hanya gelap dan udara dingin yang menyergap tubuhku.

Karena begitu terburu-burunya, bahkan untuk memarkirkan sepeda dengan benar saja aku tak bisa. Sepeda bercat merah muda itu seolah memeluk mesra rumput halaman.

"Harusnya aku membawa ponsel!" gerutuku sambil terus memencet bel.

Cklek....

"DIANNE....???" Jerit seorang pria dari balik pintu tepat ketika ia baru saja membukanya.

Aku tersenyum. Tanganku reflex menata rambutku. Berantakkan!

Sudah terlanjur aku di sini, resiko tampilanku saat ini akan menjadi bahan olokan permanen oleh Ben, aku sudah siap. Mau tak mau.

"Ada yang perlu aku bicarakan" ujarku.

"Tapi kenapa tidak lewat pesan saja?" tanya Ben tertegun memeriksa tampilanku dengan seksama.

Pesan? Oh iya, kenapa aku sama sekali tak memikirkannya?

"Ini bukan sesuatu yang bisa kita bicarakan lewat ponsel" jawabku percaya diri.

Meskipun sebenarnya, ini seperti jalan untuk mencari alasan yang lebih masuk akal.

"Ayo, masuk"

***

Kami kembali duduk di balkon rumah Ben. Hanya kami berdua. Willy terlelap di ranjangnya.

"Apa yang mau kau tanyakan?" tanya Ben tanpa basa-basi lagi.

"Ini semua masih tentak pak Neil?"

"Neil?"

"Pemilik toko ikan itu"

The Fish DecompositionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang