SATU : Body farm

207 25 6
                                    

Dianne POV


Sebuah pesan masuk ke ponselku, pesan dari Will.

Kami menyusul setengah jam lagi, Ben masih menyelesaikan lukisannya

Ponsel separuh ku lontarkan ke atas meja kayu lebar ini. Mataku kembali fokus ke arah buku-buku berbahasa inggris ini. Besok ujian penjurusanku. Dan aku tak mau gagal di ujian pertama ini. Aku harus masuk psikologi forensik!

"Apa semua ini cukup, ya?" tanyaku sambil memandangi semua tumpukkan buku yang ku baca.

"Pak Andrew mungkin tahu buku-buku yang biasanya dipakai untuk ujian penjurusan" gumamku.

Mataku mencari ke sekeliling perpustakaan, tapi sosok tegap pegawai perpus itu tak juga bisa ditemukan. "Apa hari ini bukan shiftnya, ya?" Tanyaku pada diri sendiri.

Akhirnya kuputuskan untuk mencari sendiri. Meski dengan separuh gontai, ku seret kakiku pada lantai kayu dingin perpustakaan kampus. Jujur, jika ada pak Andrew, pekerjaan mencari buku yang kuperlukan akan sepuluh kali lipat lebih mudah. Sepertinya aku memang sudah sangat bergantung pada orang itu.

Tanganku sibuk meraba satu per satu sampul buku yang terjajar rapat itu. Tapi buku psikologi forensik masih terlalu sedikit di sini. semuanya membahas bahasan yang terlalu melebar. Tak ada yang spesifik.

"Permisi" ujar seorang pria jangkung yang tiba-tiba saja menubrukku dari samping.

Seketika tubuhku terhuyung ke lemari buku di dekatku.

"Maaf" ujarnya.

Aku hanya mengangguk. Wajah pria itu tak terlalu jelas. Bukan karena mataku yang minus, tapi lebih karena penerangan di ruangan ini yang kurang memadai. Padahal sudah banyak yang protes perihal penerangan. Tapi alasannya selalu saja karena masih siang, sehingga tak perlu menghidupkan lampu, ditambah juga dengan jendela-jendela besar yang sudah cukup untuk menjadi penerangan untuk membaca.

Pria tadi menaruh sebuah buku tebal tepat di depanku. kemudian berlalu.

"Tubuhnya jangkung sekali!" gumamku sedikit kesal karena sakit bahuku ditubruknya.

"Eh, buku apa ini?" tanyaku heran pada buku yang barusan ditaruh pria itu. "Kenapa tak ada kodenya?"

Ku tarik buku itu. Ukurannya hampir seukuran kertas HVS, dengan tebal lebih dari 300 lembar.

"Buku apa ini?" tanyaku lagi. "Kenapa tak ada kode perpustakaannya?"

The Fish Decomposition

"Apa ini termasuk buku psikologi forensik, ya?" tanyaku bingung. "Judulnya bahkan lebih menjurus ke arah buku biologi"

Tapi akhirnya kubawa buku itu ke mejaku. Lebih karena penasaran dengan isi buku ini.

Layar ponselku kembali menyala, pesan dari Willy.

Sepertinya kami tak jadi ke sana, Dianne

Maaf,

Ku tarik napas panjang. Kalau tahu mereka tak jadi ikut belajar bersama di sini, dari tadi aku sudah pulang ke rumah. Buku-buku ini bisa saja aku pinjam.

Bergegas ku bereskan semua barang. Sepertinya buku ini aku pinjam saja!

***

Dua Minggu Kemudian,


KLING-KLIIING...

Bel klasik yang terpasang tepat di pintu masuk kafe buku milik Ayah Willy berbunyi. Tepat ketika seorang pria muda masuk ke dalam. Dalam langkah cepatnya, ia langsung berjalan ke arah aku, Willy dan Paman Robert, ayah Will yang lumpuh di kursi roda.

The Fish DecompositionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang