┃Sejak balita, Jihoon selalu diajarkan Bunda cara berkomunikasi yang baik dan benar, yang sekiranya anak-anak normal lakukan.
Tapi Jihoon berbeda, ia istimewa, tidak seperti kebanyakan anak normal di luar sana. Jihoon kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, bahkan dengan keluarga pun komunikasi yang dia lakukan masih tidak sempurna.
Jihoon sulit menunjukkan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya. Inilah kesulitan terbesar bagi Bunda, Ayah dan Dokter psikolog Jihoon. Gestur yang disampaikan Jihoon masih belum bisa keluarganya pahami sepenuhnya. Dan ketika mereka tidak bisa menerima sinyal yang diberikan Jihoon maka Jihoon akan mulai mengamuk, semua barang yang berada di sekitarnya akan dilemparkan ke sembarang arah, termasuk guci kesayangan Bunda yang pernah jadi korban sasaran amukan Jihoon.
Seperti yang terjadi saat ini.
"G-gak ma-u t-te-ra-pi, Bun-da." Isak Jihoon masih sambil terus melempari spidol warna-warni yang sebelumnya dipakai untuk mewarnai. Rambutnya sudah acak-acakan akibat jambakan yang dilakukan oleh tangannya sendiri.
Pikiran-pikiran Jihoon berkelana membayangkan betapa bosannya terapi yang dijalankan, sama seperti sebelum-sebelumnya. Jihoon malas jika hanya berdiam diri di ruangan sambil menunggu Dokter Psikolognya menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan. Juga, terapi ini membuat Jihoon mengantuk.
Jihoon tidak suka diabaikan, makanya ia memilih tidur disela-sela terapi yang dijalankan.
Kasus berbeda jika dia diabaikan oleh adiknya sendiri. Tidak apa ia diabaikan oleh semua orang di negri ini, dianggap tidak ada pun tidak masalah, tetapi yang diinginkan hanya satu; Guanlin kembali ke sisinya, menemani hari-hari Jihoon sebagai penyandang autisme.
"Ji, mau sembuh 'kan? Yuk terapi yuk sayangnya Bunda," bujuk Bunda untuk yang kesekian kalinya. Hati Bunda sakit melihat Jihoon yang semakin hari semakin menyerah dengan kesembuhan penyakitnya.
Selalu seperti ini, Jihoon seperti tidak ada niatan untuk menyembuhkan diri, semangatnya untuk sembuh pupus sudah termakan waktu.
Tangisan Jihoon semakin keras mendengar ajakan Bunda. Dia tidak mau terapi kecuali ditemani oleh seseorang yang sedari dulu Jihoon harapkan kehadirannya disampingnya. "Hiks... m-mau a-an-lin." Sesegukannya semakin kencang ketika melihat Guanlin yang kebetulan lewat ruang tengah dengan telinga yang disumpal oleh alat pendengar suara, ia berjalan terus menuju rak sepatu setelah sebelumnya mengambil kunci mobil dan sama sekali tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di ruang tengah.
"B-bun-da.. Ji m-mau a-an-lin hiks.."
Menyerah, Bunda memutuskan mendatangi Guanlin yang kala itu sudah bersiap-siap menggendong tas yang hanya berisi satu buku binder. Tangan Bunda melepaskan dengan tergesa alat penyumpal sebelah kiri Guanlin yang mengakibatkan lelaki jangkung itu memekik kesal.
"Alin, temenin Bunda yuk nganter Jihoon terapi?" Lebih terdengar seperti pertanyaan dibandingkan ajakan.
"Gak. Alin kuliah, hari ini ada kuis." Dari awal Bunda sudah menebak jawabannya akan seperti ini. Dongkol sudah memenuhi hati Bunda ketika mendengar tangisan Jihoon semakin keras, membuat siapa saja merasa pilu mendengarnya.
"Please, nak, sekali aja, ya?"
Guanlin menghembuskan nafas kasar, ia melirik Jihoon yang sekarang sedang menunduk sambil memainkan jemarinya yang saling tertaut.
"Gak bisa, Bun. Alin sibuk hari ini, gak bisa diganggu gugat."
Putus Guanlin pada akhirnya. Kemudian dengan cepat ia mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas sofa tempat dia tadi memakai sepatu dan langsung melenggang begitu saja tanpa berbalik menghadap Bunda maupun Jihoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Idiot +panwink
Fanfictionau·tism (ˈôˌtizəm) A mental condition in which fantasy dominates over reality. Slightangst; Panwink trashofpanwink, 2019.
