一𝒇𝒊𝒗𝒆

2K 276 66
                                        

      "Ji kambuh."

Dua kata dari Bunda sukses membuat aktivitas Ayah terhenti siang ini. Pun dengan tubuh pria itu yang langsung melemas, pikiran yang tadinya tertuju pada perkerjaan buyar sudah. Sekarang, fokusnya adalah mengapa kesayangannya bisa kambuh, padahal Ayah yakin Bunda menjaga Jihoon dengan baik.

Begini, Jihoon itu jarang sekali kambuh. Terakhir kambuhnya Jihoon sekitar dua tahun yang lalu. Tahun-tahun terberat bagi Ayah dan Bunda. Tahun dimana mereka berdua harus ekstra menjaga Jihoon. Sedetik melepas pandangan dari Jihoon, mereka bisa-bisa kehilangan Jihoon untuk selamanya.

Walaupun bukan anak kandung, mereka menyayangi Jihoon layaknya sebongkah permata di tengah pasir coklat nan kering. Melebihi kasih sayang mereka pada Guanlin. Melebihi harta benda yang mereka jaga sepenuh hati kelak untuk diwariskan kepada Guanlin dan Jihoon. Ya, sebesar itu rasa sayang mereka.

Jika Jihoon sudah seperti ini tak ada yang bisa Ayah lakukan selain pulang ke kota dimana keluarga tercintanya tinggal, untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tidak masalah, Ayah adalaha pemilik perusahaan ini, semua bisa di handle oleh tangan kanannya.

"Apa penyebabnya, Bun?" Suara grasak-grusuk terdengar dari seberang yang mana membuat Ayah mengerti jika Bunda sedang sibuk-sibuknya menjaga Jihoon.

Helaan nafas menjadi awal suara yang Ayah dengan, "Alin—" Belum sempat dilanjut, Ayah langsung memutus perkataan Bunda. "Apa lagi yang dilakukan anak nakal itu?"

"Alin di waktu itu taruh silet di meja ruang keluarga, disitu posisi ada Ji yang lagi nonton tv. Dan Bunda juga inget banget, taruh susu kedelai di atas meja. Ayah tau 'kan kalau Ji lagi terfokus sama satu hal, yang lain gak diperhatikan sedikitpun sama Ji? Jadi Ji minum susu kedelai Bunda, hampir habis lagi—" Bunda diam sebentar untuk mengatur napasnya, sesekali terdengar isakan rapuh yang membuat hati Ayah sedih mendengarnya, "—gak langsung kambuh, Yah. Tapi disitu acara tv yang Ji tonton udah habis dan Ji mulai mencari-cari benda menarik di sekitarnya. Kebetulan disitu ada silet yang Alin taruh. Mungkin Ji ingat apa yang terjadi dulu dengan benda tajam sejenis pisau, gunting dan silet. Ji ambil siletnya dan mulai melukai diri sendiri. Persis seperti dua tahun yang lalu." Ini alasan mengapa Ayah sangat bersedih mengingat Jihoon dua tahun yang lalu. Jihoon anak yang gampang tertekan dengan situasi, sebisa mungkin Ayah dan Bunda membahagiakan Jihoon. Juga menjauhan pisau, gunting, silet atau benda-benda tajam lainnya yang bisa berfungsi untuk melukai.

Jihoon tidak segan untuk melukai dirinya sendiri. Ia merasa sangat puas jika sudah melihat darah yang mengalir dari tubuhnya. Rasa senang yang tidak terbendung.

"Kalau Bunda merasa bersalah sekarang gak akan bisa memperbaiki apa yang sudah kejadian—" Ayah sedikit mengusap air mata yang menetes ketika mendengar tangisan Bunda semakin keras dan semakin pula menusuk hati dan pikiran Ayah. "—Lagian daripada menyesal, Bunda masih bisa memperbaiki kecerobohan Bunda sekarang." Ayah mencoba mengerti situasi yang sedang terjadi, Ia tidak bisa bertindak gegabah dengan membentak dan menyalahkan Bunda, padahal ini bukanlah merupakan suatu kesalahan yang disengaja.

"Bunda tenang, ya? Secepatnya Ayah bakal pulang." Bunda mengangguk di seberang sana yang mana tidak bisa dilihat oleh Ayah. Tangisan Bunda sedikit mereka, membuat Ayah merasa lega. "Dan Ayah mau tanya, kenapa Alin taruh silet di atas meja? Ayah yakin banget Alin tau apa yang bisa terjadi kalau-kalau Ji ngelihat silet," Pertanyaan yang sedari tadi terus memenuhi pikiran Ayah langsung terlontar begitu saja.

Ayah tahu ini bukan sepenuhnya salah Guanlin dan Bunda. Ini murni sebagai tindakan ketidaksengajaan dari keduanya, tapi Ayah butuh alasan mengapa kejadian yang sangat melukai hatinya bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan.

The Idiot  +panwinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang