RUMAH USANG

29 1 0
                                    


Aku ibaratkan kamu adalah seorang tuan rumah.

Rumah di sebuah padang rumput hijau yang segar dengan halaman yang ditanami penuh bunga-bunga indah. Membuat siapapun yang lewat akan tertarik untuk masuk dan kemudian menetap.

Lalu ada seseorang yang sedang melintas, yang dengan tenangnya begitu saja berjalan di depan rumah itu tanpa berpikiran untuk bertamu apalagi menetap. Hanya sekedar lewat dan menatap.

Tetapi sang tuan rumah justru mengundangnya untuk masuk, memberinya air minum sampai mabuk. Dan membuat seseorang yang melintas tadi menjadi begitu terpesona dengan apa yang disuguhkan tuan rumah.

Yang terjadi berikutnya adalah seseorangi itu menjadi betah.

Namun sayangnya, ternyata tuan rumah tadi hanya sedang merasa sepi karena pasangannya yang kebetulan pergi. Dia seorang diri dan butuh ditemani sampai pasangannya akan kembali.

Setelah pasangannya kembali, seseorang tadi dia suruh pergi.

Begitulah, kamu yang pernah kuanggap sebagai rumah tujuanku pulang, justru ternyata tak pernah sekalipun memperbolehkan aku untuk sekedar menghirup napas panjang setelah perjalan jauh menuju ke tempatmu.

"Ga, besok aku tunggu naskahnya yaa. Sekarang aku mau pulang dulu, besok kudu berangkat pagi soalnya sedang ada akreditasi di kantorku."

Dion memasukan barang-barang miliknya ke dalam tas ransel berwarna hijau dengan gelang prusik berwarna-warni yang dia jadikan gantungan kunci. Kami sedang mengerjakan proyek naskah drama untuk pementasan teater yang akan digelar di balai kota beberapa minggu lagi.

Sebenarnya ada enam orang sebelumnya, hanya saja satu persatu memohon ijin karena ada urusan masing-masing. Hingga menyisakan aku dan Dion yag juga akhirnya memohon pamit. Kami adalah sekumpulan remaja berbeda latar belakang yang tergabung dalam sebuah kelompok teater.

Namaku Sharga, kedua orang tuaku bilang artinya adalah pemimpin. Dan nyatanya sekarang aku menjadi koordinator dalam kelompok teaterku yang terkadang merangkap sebagai sutradara, tukang rias, dan sekaligus pemerannya.

"Masih hujan, lho."

"Yah, ini mah gerimis doang. Nggak bakal bikin meriyang. Cowok kuat lho aku ini,"

Aku tersenyum mendengar Dion berkata begitu.

"Ya udah sana, daripada berdua juga sama batangan mending sendirian deh."

"Bentar lagi juga aku mau cabut, tapi biar aku selesein sinopsisnya dulu. Tanggung." lanjutku setelah sebelumnya menghisap rokok yang terselip di sela-sela jemari.

"Okelah, kamu memang paling bisa diandalkan."

Aku tersenyum, lalu mengepalkan jari-jari tangan kiriku untuk kemudian ditinjukan pelan dengan jari-jari Dion yang juga mengepal. Kemudian dia berlalu, dan aku kembali fokus menatap layar laptop yang menampilkan barisan huruf untuk menyelesaikan sinopsis naskah yang kali ini adalah jatahku untuk membuatnya.

Suasana kedai memang sudah sepi setelah sejak isya pengunjung yang datang silih berganti memenuhi setiap sudut tempat yang ku rintis semenjak tiga tahun yang lalu ini.

Tempat yang sebenarnya tidak aku mulai dengan seorang diri, melainkan dengan dia yang ternyata lebih memilih untuk beranjak pergi sebelum mimpi-mimpi bisa menjadi kenyataan.

Satu lagi batang rokok yang aku bakar dengan korek, ku hisap asapnya untuk kemudian dihembuskan lagi memenuhi udara bersama segala beban yang sudah cukup lama memenuhi isi kepala.

SUARA-SUARA SETELAH KAMU PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang