DOA-DOA YANG MASIH KUPANJATKAN

48 1 0
                                    

Aku harus terus berupaya melupakan karena memang sudah bukan saatnya lagi berharap.

Bagiku, seseorang yang sudah pernah mengkhianati tak pantas untuk diberi kesempatan lagi. Mungkin tepat kalau orang-orang berkata bahwa hukuman yang paling tepat untuk pengkhianat adalah hukuman mati.

Bukan orangnya, tetapi perasaanya.

Secepatnya dibunuh, kemudian buang jauh-jauh.

Kejam memang, tetapi kamu yang lebih dulu berbuat kejam dan seakan tak memiliki perasaan. Dan lagi, sekejam-kejamnya yang aku lakukan sekarang, tak sampai membuatmu merasa terbuang.

Bahkan sebenarnya hukuman mati untuk perasaan tentu saja itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadapmu. Sama sekali.

Kamu sudah lebih dahulu membuat mati.

Sesaat setelah perasaanmu berpindah hati.

"Ra, nanti siang kamu ikut saya, ya."

Aku sedang duduk di hadapan Gathan, di seberang meja, di ruangannya. Laki-laki itu berbicara sambil memainkan ponsel, tak menatap ke arahku yang saat ini menunjukkan mimik bertanya-tanya.

Beberapa detik yang lalu aku di suruh menghadap ke ruangannya dan sejak tadi dia tak menatapku.

"Ikut Bapak?"

"Iya, nanti kita ke kantor developer perumahan. Ada proyek yang tidak boleh dilewatkan," jawabnya masih tetap fokus dengan ponselnya. Aku yakin dia hanya sedang bermain game online.

"Kok saya, Pak?"

Kali ini pertanyaanku membuatnya mengalihkan pandangan dan menatapku.

"Pertanyaanmu itu seperti bukan keluar dari mulut pegawai professional saja, Ra. Ya jelas karena kamu karyawan sini makannya saya pengin kamu ikut untuk mewakili kantor kita."

"Tapi kan saya CS, Pak. Apa bapak tidak salah tunjuk karyawan? Tugas saya kan melayani nasabah."

Aku bukannya ingin melawan atasan, tapi sepertinya aku merasa ada yang keliru disini. Ini pertama kalinya Gathan mengajakku untuk ikut rapat bersamanya, apalagi di luar kantor seperti sekarang ini.

"Biar kamu ada pengalaman lain, tidak hanya duduk dibelakang meja dan bertemu nasabah. Dan saya pikir, tidak ada salahnya mengajakmu karena saya lihat hari ini yang datang tidak banyak."

"Tidak masuk akal," ucapku lirih, lebih tertuju kepada telingaku sendiri.

"Bagaimana, Ra?"

"Tidak, Bapak. Berarti Nessa sendirian?"

"Iya,"

"Nanti kalau banyak nasabah yang datang bagaimana?"

"Apa gunanya mesin antrian?"

"Masalahnya bukan itu, Bapak. Tetapi kami juga butuh istirahat, kalau misalnya banyak nasabah yang datang dan Nessa sendirian nanti,"

"Ra, sebelum saya ada di posisi ini saya juga pernah jadi CS, Teller, dan posisi lainnya. Saya paham dan lebih mengerti juga lebih berpengalaman dari kamu. Jangan banyak alasan, mau kamu bicara apapun kamu akan tetap ikut saya keluar nanti siang."

Aku menghela napas pasrah, lalu memohon ijin untuk keluar ruangan beberapa detik setelah bertanya apakah ada hal lain yang akan Gathan sampaikan dan dia menjawab tidak ada. Dengan wajah yang tertekuk aku berjalan menuju meja kerjaku.

"Kenapa, Ra? Kusut amat wajahmu," Refi yang kebetulan berpapasan memberikan pertanyaan sambil menyunggingkan senyum yang menurutku cukup menyebalkan.

SUARA-SUARA SETELAH KAMU PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang