Mencairkan tebing es

32 11 2
                                    

Hujan mengikis sakit dan tangis yang ada
***
Aku Raina masih berlari melawan tetes demi tetes hujan yang menimpa tubuh ini. Aku tak menghindar aku justru merasakan hadirnya mereka seakan memeluk dan mengusap tangis diwajahku. Aku terus berlari sembari mengadukan sedih pada mereka saudaraku (hujan). Tak kurasa aku berlari sudah sampai jalan raya didepan kompleks rumahku. "Tinnnnnn...." Suara bising dan lampu motor itu berhasil menganggu kekusyukan ku mengadu pada hujan
"Hei mbak lagi ngapain sih? Kalo main hujan-hujanan jangan ditengah jalan dong!?" Teriak Seorang laki-laki yang mengendarai motor berisi gerobak siomay dibelakangnya. Tak ku hiraukan suaranya karena hatiku saat ini tengah berkecamuk. Aku segera pergi ke tepi. Memang jalanan hari itu tengah sepi, hanya aku dan dia disana. "Gila Lo" ucapnya terakhir sebelum dia meninggalkan aku yang berdiri dipinggir jalan mengendarai motornya.
***
"Raina,? Abis nangis ya?" Tanya Sasya satu-satunya teman dikelas yang paling akrab denganku, sekaligus teman sebangku ku. Dia tak pernah mengganggu atau melarang ku saat aku tengah berbicara dengan hujan.
"Ga aku gapapa" jawabku singkat
"Yaudah, gue siap kok misal ada yang mau diceritain"
"Makasih sya, ga ada kok"
"Rain,sekali aja buat gue itu berguna,jadiin gue temen curhat lu, yakali tiap hari bareng tapi gue sama sekali ga kenal lu, please rain!" Permohonannya sembari menatap mataku tajam dengan matanya yang berbinar.
Baiklah kuceritakan masalahku padanya. Entah mengapa matanya berhasil menyakinkanku dan mencairkan hatiku yang selalu beku.
***
"Sudah bel pulang sekolah,aku balik dulu,"
Ucapku pada Sasya.
"Siap, see you"
Aku dijemput pak sopir, memang rumahku dan sekolahku jaraknya agak jauh.
"Tinnnnnn....."
"Ada apa pak?" Tanyaku pada pak sopir
"Ini neng ada yang kesrempet"
"Kok bisa?"
Aku keluar mobil, lalu melihat keadaan orang itu. Tidak lain dan tidak bukan dia adalah orang yang nyaris menabrakku kemarin.
"Lahh..lu cwe yang mau bunuh diri kemarin" diucapnya sembari membersihkan celana putih abu-abu nya yang kotor
"Mas gak papa?" Ucap pak sopir
" Engga, lain kali hati-hati ya pak" ucapnya sambil menepuk pundak pak sopir
"Maaf ya mas, saya benar-benar kurang fokus tadi"
"Engga papa pak, saya tahu"
"Sudah pak ayo pulang" ajakku pada pak sopir
"Yaelah.. bukannya minta maaf "
Tak ku jawab aku segera masuk ke mobil. Meninggalkan laki-laki itu.
"Siapa sih sok kenal banget" ucapku
" Dia itu anak pedagang siomay daerah sini neng"
"Oh bapak kenal?"
"Tidak, diakan sering mengganti bapaknya berjualan di dekat rumah "
"Oh" jawabku
Entah angin apa, tiba-tiba aku jadi penasaran dengan sosok-nya. Pantas saja kemarin dia membawa gerobak siomay batinku.
***
Besok harinya aku menunggu pak sopir didepan gerbang sekolahku, hari ini tidak hujan hanya gerimis. Jangan heran mengapa setiap hari turun hujan,karena memang sekarang sedang musim penghujan, musim terindah bagiku. Beberapa menit kemudian ada seorang laki-laki lewat menembus tetes-tetes gerimis. Kau benar dia yang kemarin. Dia mengendarai motor bututnya dengan pelan, dari arah yang berlawanan ada mobil dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba mobil tersebut hilang kendali lalu menabraknya. Semua orang disitu panik dan menolong dia yang jatuh tepat didepan mataku, tak banyak respon dariku, aku tetap berdiri tegak disana. Entah apa yang membuatku tak memiliki kepedulian entah apa yang berhasil membekukan hatiku. Tapi ada yang aneh saat dia hendak berdiri, kakiku seakan membawaku berdiri menghampirinya, ku ulurkan tanganku kearahnya. "Terima kasih" ucapnya. Hari itu menjadi pertama kalinya, kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Melihat dia baik-baik saja dan hanya gerobaknya yang rusak orang-orang meninggalkan kami berdua. "Kau tidak apa-apa?" Kataku yang berhasil memecah keadaan sore itu. "Tidak, terimakasih, ku pikir kau tak mau menolongku, sepertinya aku sudah salah menilaimu" ucapnya disertai lengkung tipis yang menghias bibirnya. Aku hanya diam tak ku balas senyumnya.
Pak sopir pun datang dan aku segera meninggalkan dia yang sedang membereskan barangnya, tak ku ucapkan salam perpisahan padanya. Hanya senyum tipis yang ku berikan, dia pun membalasnya. Entah mengapa senyumnya berhasil melelehkan hatiku yang bertahun-tahun telah membeku. Bak matahari yang mencairkan tebing es di kutub.

#Halo temen-temen makasih udah baca, masih banyak kurangnya, belum sesuai EYD. Next insyaallah diperbaiki, kasih sarannya ya!

Rain and Sun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang