Him - 9

9 3 6
                                    

Kring...

Tanda bel selesai istirahat berbunyi. Ghenia seperti ingin sujud syukur saking senangnya karena bel itu membantunya.

"U-ud-udah bel, kak. Gue ke kelas d-dulu," ujar Ghenia gugup. Sarga menatapnya sambil tersenyum jahil, lalu mengangguk. Segera Ghenia berlari menuju pedagang jus melon yang ia pesan tadi untuk membayar jusnya, setelahnya ia  berlari kencang ke luar kantin. Sila dan Dina pun berinisiatif mengejar Ghenia.

"Siapa lo, Ga?" tanya Danu. Sarga hanya mengedipkan mata.

"Dih!" sahut Rinal.
"Degem lo, ya? Dedek gemes." lanjut Rinal sambil menaikturunkan alisnya.

Sarga terkekeh, "Adiknya bang Zian,"

Danu dan Rinal melotot, "Adiknya? Astaga, pantes mukanya tuh cewek mirip sama orang yang familiar di mata gue. Taunya adiknya bang Zian." ucap Rinal yang segera diangguki Danu.

"Ghenia namanya, Ghenia." kata Sarga.

Setelah itu mereka memesan makanan sambil bersenda gurau sambil menunggu makanan mereka tiba. Guru sejarah XI Ips 2 tadi mengambil jam istirahat untuk dipakai belajar, karena materi yang akan dibahas akan diselesaikan dan nanggung jika dipotong oleh istirahat.  Makanya mereka makan di saat jam istirahat selesai. Jadilah kantin SMA Delian seperti milik kelas XI Ips 2.

***

Keesokan paginya, Ghenia datang sedikit terlambat karena harus menyiapkan undangan ulang tahunnya yang akan di adakan 3 hari lagi, tepatnya tanggal 24 oktober mendatang.

Tahu jika jam pelajaran akan dimulai, Ghenia berlari kencang dari parkiran menuju kelasnya. Saking kencangnya, ia tidak mengetahui jika di koridor lantai 1 terdapat genangan air. Hampir saja ia terpeleset, tetapi ada seseorang yang menarik tangannya.

"AAA! Astaga... hampir aja." jerit Ghenia sambil mengelus dada, lalu menoleh ke arah orang yang menolongnya. Seketika ia menunduk malu melihat orang itu.

Siapa lagi yang bisa membuat Ghenia tertunduk malu jika bukan Sarga?

"Gak apa-apa, kan?" tanya Sarga. Ghenia hanya mengangguk.

"Besok hati-hati, ya. Bahaya kalo lo jatuh, apalagi pantat yang jatuh duluan. Bisa lumpuh. Naudzubillah.." Ghenia mengangguk lagi sambil menahan senyum, ternyata Sarga peduli padanya.

"Yaudah, gue ke kelas dulu." Buru-buru Ghenia menahan tangan Sarga yang hendak pergi.

"Kenapa?" tanya Sarga.

Ghenia setengah menunduk, "T-terima kasih, kak. Udah di tolongin tadi."

Sarga mengangguk sambil tersenyum, "Iya, sama-sama."

Lalu ia melangkah menjauh dari Ghenia menuju tangga, hendak melangkah ke kelasnya.

Lagi-lagi Ghenia menahannya dengan berteriak, " Kak, tunggu!" Lalu ia menyusul Sarga.

Sarga menoleh, "Mau bilang makasi lagi? Iya sama-sama, Ghen."

Ghenia menggeleng, "Bukan. Mau kasih undangan ulang tahun gue. Dateng, ya." Ghenia mengeluarkan undangan yang dibungkus rapi berwarna maroon, warna kesukaannya. Undangan itu adalah undangan yang paling mewah hiasannya daripada berpuluh-puluh undangan di dalam paperbag yang ia bawa.

Sarga menerimanya, lalu tersenyum seraya mengangguk. Ia kembali berjalan, menjauh, hingga mata Ghenia yang dilindungi kacamata tidak dapat melihat Sarga lagi.

Ghenia tersenyum lebar. Sangat lebar.

***

Pukul 15.25, Ghenia, Gamila, dan bunda mereka akan mengunjungi salah satu butik untuk memesan baju ulang tahun untuk Ghenia, Gamila, dan bunda. Zian dan ayah hanya cukup memakai kemeja dengan warna senada dengan dresscode ulang tahun Ghenia.

Sebenarnya Ghenia tidak mau membuat acara seperti ini, karena Ghenia akan berulang tahun yang ke-16, jadi tidak terlalu penting untuk dirayakan. Tetapi bundanya memaksa. Ghenia akhirnya mengalah saja.

"Ayah kapan pulang, bun?" tanya Ghenia.

"Kayanya besok. Ayahmu mau selesaikan pekerjaannya dulu." Ghenia mengangguk.

Sekitar 20 menit, mereka sampai di salah satu butik. Ghenia menghela napas lagi melihat butik itu.

Yap, butik 'Arsara'.

"Ga ada butik lain, bun?" Bunda menoleh ke arah anaknya. "Kenapa? Bunda lebih suka pesan disini. Udah murah, jahitannya bagus, cepat jadi lagi. Yang punya juga kan orangtuanya teman kakakmu."

Ghenia mengalah. Lagi. Mereka bertiga akhirnya turun. Memasuki butik itu dan disambut hangat oleh salah satu pegawai butik.

"Bu Tuti nya ada, mbak?" tanya bunda sopan.

Pegawai itu tersenyum, "Ibu lagi keluar, bu. Yang ada hanya anak gadisnya."

"Oh begitu. Boleh minta tolong dipanggilkan anaknya? Saya ingin bicara." Pegawai itu mengangguk, lalu melangkah masuk.

Tak berapa lama, keluar seorang perempuan yang dulu Ghenia pikir adalah kekasih Sarga.

"Tante Ghaida, ya? Maaf, tante. Mama lagi ada urusan. Jadi tadi mama pesan supaya aku yang bantuin tante." kata perempuan itu.

"Oh iya, nak. Gak apa-apa."
"Tante mau pesan baju dress warna maroon." lanjut Bunda.

"Oh iya, tante. Ayo kita lihat desainnya dulu." Lalu perempuan itu melangkah ke meja kasir, diikuti Bunda, Ghenia dan Gamila di belakang. Mereka mulai melihat desain baju.

"Siapa namanya, nak? Kita dari tadi asyik memilih baju sampai-sampai lupa berkenalan." kata Bunda. Perempuan itu terkekeh.

"Narita, tante." jawab perempuan itu yang diketahui bernama Narita tersebut sambil mengulurkan tangan ingin bersalaman.

"Cantik namanya, kaya orangnya." Narita terkekeh.

"Kalau dua adik ini, siapa namanya?" tanya Narita balik. Seketika Ghenia menegang, ia seperti sedang di wawancarai oleh kakak iparnya. Eh?

"G-ghenia, kak. Kalau yang mukanya songong, belagu ini namanya Gamila." Narita mengangguk. Sedangkan Gamila menatap kakaknya datar. Seolah-olah tidak peduli, Gamila melanjutkan bermain gamenya.

Kemudian mereka kembali membicarakan soal busana yang akan di pakai 3 hari lagi. Saat sedang asyik memilih, keluarlah seorang lelaki.

"Kak, gue mau main ke rumahnya Danu. Bareng Rinal juga." Seketika Ghenia menoleh ke arah lelaki itu. Ia terkejut luar biasa. Lelaki itu juga sama kagetnya dengan Ghenia saat melihat wajah Ghenia.

"Lo?!"

"Kak Sarga?!"

Narita dan bunda hanya menyimak melihat kedua remaja tersebut yang mukanya seperti habis melihat hantu.

"L-lo ngapain, disini?" tanya Sarga. Mukanya masih menampilkan keterkejutan.

"Pesan baju buat ulang tahunnya." Ghenia diwakili Narita menjawab pertanyaan Sarga. Sarga berkedip, lalu membulatkan bibirnya.

"Ohh, gitu. Dresscodenya warna maroon, kan?" Ghenia mengangguk kecil.

"Oke deh. Nanti gue siapin bajunya." kata Sarga. Lalu tak sengaja matanya bertemu pandang dengan mata Bunda Ghenia. Sarga tersenyum canggung.

"Tante, mamanya Bang Zian, ya?" tanya Sarga. Bunda memgangguk sambil tersenyum. Sarga kemudian tersenyum sambil menyalami Bunda.

"Tante, kak, Ghen, sama adik cantik ini, Sarga pamit dulu, mau ke rumah teman." Lalu Sarga melenggang keluar butik. Ghenia menatap kepergian Sarga dengan sedih. Mengapa hanya adiknya yang di bilang cantik? Ia kan juga ingin.

"Kamu undang Sarga juga, Ghen?" kata Narita. Ghenia mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, kak." Narita ber-oh ria.

"Yaudah, biar nanti kakak carikan baju buat Sarga yang couple sama kamu." Ghenia terkekeh. Bunda hanya tersenyum saja.

"Sudah maghrib, kita pamit dulu ya, nak Narita. Salam sama mama. Besok pagi tante ke sini lagi. Mumpung cuti." Narita mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menyalami Bunda Ghenia. Setelah itu, mereka bertiga pamit untuk pulang.

●●●

Him.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang