Dibalik Kesusahan

25 10 19
                                    

Pikiran Nam setiap hari melayang tentang bagaimana caranya agar dia bisa menabung, dan menjadi mandiri. Paling tidak untuk membiayai sekolahnya sendiri. Nam selalu sibuk sendiri bahkan teman-temannya agak bingung dengan sikap Nam.

Sepulang sekolah, di kelas Nam.

"Hoy! Nam, kamu ngapain?" tanya Tien.

"Ha, aku sedang memikirkan untuk menjadi anak yang mandiri Tien." jawab Nam.

"Ha? Mandiri? Maksud Nam itu bagaimana?" tanya Tien lagi.

"Aku tidak mau bergantung lagi pada Pamanku Tien, aku selama ini hidup menumpang pada Paman. Karena aku tidak punya orang tua. Pamanku tidak menikah karena aku, aku tahu hal itu karena kata tetanggaku, pamanku tidak menikah karena memikirkan kehidupanku. Pamanku juga berharap aku menjadi orang yang sukses kalau sudah besar nanti. Dan aku ingin mengajak Pamanku ke kota besar dan membangun rumah disana." jelas Nam.

"Wah, kamu sudah memikirkan sampai sejauh itu Nam? Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak punya orang tua Nam?" Tien penasaran.

"Tien, apakah kamu benar ingin tahu?" Nam memastikan.

"Hmm, iya Nam. Tentu." jawab Tien pasti.

"Baiklah, aku hanya bercerita hal ini kepadamu."

Karena cuma kamu yang perduli dengan keadaanku.

"Sebenarnya aku ini anak yang tidak diinginkan dari hubungan adik perempuan Pamanku dan kekasihnya. Ibuku meninggal saat melahirkanku, karena depresi karena mengandung anak tanpa ayah. Sedangkan ayahku tidak jelas kabarnya, menurut berita yang aku dengar ayahku juga mengahiri hidupnya karena frustasi tidak bisa menikah dan hidup dengan ibuku. Aku diasuh oleh Pamanku sejak aku lahir. Dan Pamanku tidak menikah karena ingin merawatku." jelas Nam.

"Kamu..." mata Tien membelalak memperhatikan Nam.

"Serius Nam?" tanya Tien.

"Hmm, ya begitulah Tien. Aku juga tidak mengerti cerita pastinya, aku hanya mencuri-curi dengar dari orang-orang yang sering membicarakanku. Yang penting sekarang aku harus bisa mandiri, agar Paman tidak susah lagi." kata Nam sambil bergegas bangkit dari kursinya untuk pulang.

"Ayo pulang Tien." sambung Nam.

"Nam... " Tien menatap Nam dalam dari kursinya. Memandang dengan penuh rasa haru tepat ke wajah Nam. Tangan Nam digenggam erat oleh Tien. Mata Nam membalas tatapan Tien yang sendu. Nam baru kali ini merasakan empati yang begitu dalam dari seorang teman.

"Loh, Tien... ?" Nam kebingungan, dia merasa canggung.

"Kalau Nam butuh bantuan, apapun yang bisa Tien bantu, pasti Tien bantu. Jadi jangan sungkan-sungkan ya Nam." ucapan tulus dari Tien menggugah hati Nam.

Tien adalah anak yang penuh perhatian, bukan hanya terhadap Nam tapi kepada semua anak di kelas mereka. Nam juga sangat nyaman bercerita hal-hal yang privasi kepada Tien, Nam tidak pernah punya seseorang yang memberi perhatian seperti Tien.

Hari berlalu, Nam dan Tien semakin sering berbincang dan membuka pergaulan Nam kepada kelompok gadis-gadis lainnya di kelasnya. Mereka banyak membicarakan hal-hal yang sepele sepantaran umur mereka. Kecuali Nam, meskipun dia mulai bergabung dengan kelompok lain, Nam tidak lantas melupakan tujuannya untuk mencari pekerjaan, walalupun dia masih sangat muda.


Hi guys, aku usahain banget tiap hari update nih. Lagi panas-panasnya update cerita, mumpung alurnya masih lengket di otakku yang ngga seberapa ini. Ntar kalo udah kedistrak sama kesibukan lain, pasti lupa. Ya mohon maaf lahir dan bathin ya. Pokoknya jangan sungkan kasi komentar. Ajak kawan yang lain baca juga. Jadikan Indonesia menjadi negara yang tingkat literasinya semakin tinggi ya guys.. :D
*kiss*

Putri atau Pangeran?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang