Chapter 2 -special Leo Hyazo-

9.7K 18 0
                                    

“Asu.”

  Entah sudah berapa kali kata itu diucapkan—disamping kata ‘bangsat’, ‘anjing’, ‘ngeot’, dan kata sejenis lainnya—oleh gadis dengan kacamata berframe biru-hitam itu. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, berdecih untuk kesekian kalinya.

  Buku dipangkuannya diabaikan, dia lebih tertarik pada jam yang menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit.

“Asu.”

  Itu artinya dia sudah menunggu jemputan dua jam :’)

“Shit, Bunda mana sih? Jangan-jangan Bunda lupa kalau dia punya anak yang setengah-setengah kek gue ya?.”

“Halah dasar anak ilang, nggak guna lu.”

“Ah, diam, berisik banget sih.”
Dia mulai bermonolog sendiri.  Ini sudah biasa kok.

“Om!”

Kepalanya menegak, sedikit menyerngit menatap seorang laki-laki yang menyapanya dari motor yang melaju. Kemudian dia melambai,

“PROF!!”

Lalu motor itu kembali berlalu. Senyum kecilnya, hilang, kembali menampilkan wajah ngantuk—seperti biasa.

“Kalau kayak gini gue bisa gila, anjir.”
Sekitar lima belas menit kemudian, sebuah mobil merah maroon berhenti di seberang jalan. Gadis itu mengemasi bukunya, dan berlarian sambil melompat masuk ke dalam mobil.

“Lama ya, kak?”

Senyumnya tipis, “Nggak kok.”

└*⌂*┘

Gadis itu bersender pada dinding kamarnya. Sisa-sisa air mata masih terlihat. Perutnya bergumuruh, tapi dia sudah memutuskan untuk mogok makan selama sisa hari. Dia tidak keluar kamar, memilih untuk lapar dan kedinginan sementara di luar hujan deras mengguyur.

Masih teringat olehnya, bagaimana orang tuanya kembali menghancurkan rasa percaya dirinya.

.

“Bunda kecewa sama kamu.”

.

“Kenapa kamu nggak bisa kayak adik kamu?”

.

“Kok sekarang prestasi kamu turun?”
“Makanya, jangan main hp terus.”

.

Dia sakit. Bukan masalah besar apabila setelah ini hp-nya disita, tapi yang membuatnya sakit adalah hal lain. Dibanding-bandingkan. Oh ayolah, ini hidupnya. Dia adalah dia, bukan adiknya.

“Mati, dosa. Tuhan nggak nerima orang yang bunuh diri di surga.”

Berulang kali kata itu diucapkannya.
Hp-nya sudah tergeletak lemah di sisi nakas. Tidak disentuh sama sekali.

Dia meraih Ash—notebook putih kesayangannya—dan menghidupkan benda itu. Sambil menunggu loading, dia meraih pensil mekanik dan sketch book-nya. Saat Ash sudah aktif, dia segera menuju satu folder khusus lagu-lagunya. Dia memutar sebuah lagu. Lagu yang selalu terhubung dengan hati kelamnya.

Shinitai nante iu na yo
.
Akiramenai de ikiro yo
.

Lalu tangannya bergerak. Pensil mekaniknya menarik menari riang di atas kertas.

“Shit happened again.”

Beberapa menit kemudian, tangannya berhenti bergerak. Dia menatap gambar seorang bocah laki-laki yang dirantai, disertai tulisan seperti help me, I want to die, dan berbagai perkataan jahat lainnya. Emosinya mulai reda.

Dia membuka document dan membuka cerita karangannya yang belum selesai, ‘Mamaku Fujo’.
Bibirnya melengkung tipis.

Lengkungan itu semakin naik saat bagian dimana karakter uke yang dibuatnya dipeluk dengan posesif oleh seme buatannya.

“Anak gue itu.”

Dia terkekeh. Wajah suram tadi hilang. Dia melompat kecil ke luar kamar, meraih wafer dan teh pucuk, kemudian kembali ke kamarnya dan lanjut membaca.

Dia benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda.

Ah, sungguh, dewa yaoi selalu tau cara membuatnya senang.

Jemarinya bergulir mengganti lagu menjadi ‘Tired’ milik Alan Walker. Dia membuka folder lain, kumpulan cerita one-shoot buatannya. Melanjutkan cerita berjudul ‘Tired’ yang terinspirasi dari lagu itu—semacam song fict.

Dia mendecakkan lidah. Baru sampai bagian tokoh utama mau enaena dengan selingkuhannya. Dia bingung melanjutkan adegan enaena-nya, takut mimisan.

“Kami-sama yaoi, tolong ikhlaskan anakmu ini menulis adegan nganu.”
Jarinya terhenti tiap kali mengetikkan desahan :’)
“Aaa! Bisa gila gue!!”


└*⌂*┘

Hyazo menyesal. Dia tarik ucapannya. Dia tidak ingin gila. Dia mau keluar dari rumah sakit jiwa ini.

“Masih lama, ya, Bun?”

Bukan, bukan dia yang dibawa ke psikiater. Tapi adiknya. Sungguh.

Tapi dia yang paranoid, terlebih saat perawat-perawat melintas sambil tersenyum. Dia takut membalas senyum mereka. Nanti dia dikira gila.

  Dia menyesal terbujuk ikut ke rumah sakit jiwa hanya karena ditawari dua kotak susu cair coklat dan plain ditambah sekotak yoghurt.

“Asu, harusnya sekarang gue lagi liatin uke yang mendesah keenakan di bawah semenya.”

-LH

To be continue...

By HYAZOinLUST

The SangersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang