Sial, kenapa sih harus ada acara pindah-pindahan segala, bikin repot aja.
And then, ini Bandung guys, nggak seramai di Jakarta, I don't like this, dan parahnya gua harus ngulang lagi, cari temen, kenalan dan apalah itu, RIBET. Udah enak di Jakarta, semua temenku ada di sana, walaupun pada gila sih, shit..Dalam otakku terjadi pertikaian, tapi jujur aku males pake banget harus pindah sekolah ke Bandung, iya sih semua mengakui bandung asik, sejuk, nggak ada macet, mungkin ada tapi tak separah di Jakarta, kalau boleh jujur sekali lagi. Oh God, aku nggak suka di sini, selain temenku semuanya di Jakarta, aku juga nggak suka suasana seperti ini, nggak asik menurutku. Gak ramai, waktu di Jakarta aku kan gaul, biasa nglakuin hal gila di keramaian. Dan sekarang, keadaan berputar, bukan 180 derajat lagi, mungkin 1000 derajat. Bodo amat lah.
***
"Den Rafi, udah nyampe nih." suara Pak Ujang beriringan dengan suara rem mobil berhenti, membuyarkan semua pikiranku yang tengah kacau balau.
Ya, akulah Rafi yang sedari tadi ngoceh seperti burung beo, tepatnya Rafi Yudistira, aku murid pindahan dari salah satu SMA di Jakarta, sekarang aku duduk di kelas 11. Dan aku masih gak percaya. Aku pindah ke SMA di Bandung. Tepatnya SMA Pelita, Iya memang ini baru memasuki minggu kedua semester 1, tapi sama aja, Ah.. Udahlah, emang udah nasib.
"Iya pak, bentar mau mau napas dulu." gumamku dengan nada datar. memperlihatkan wajah murung ke hadapan supirku itu.
"Jangan sedih dong, tenang, bawa santai aja kaya di pantai." canda Pak Ujang, mungkin dia mau menenangkanku. But sorry its useless. Aku udah terlanjur bete, padahal saat-saat inilah yang membuatku semangat, tak sabar mau bertemu dengan temen-temenku yang sebagian besar kena gangguan jiwa, alias Gila, saat di Jakarta. Aku kangen kegilaan merekaaa.
Aku turun dari mobil, menenteng tasku. Entah mengapa tasku begitu berat, atau memang perasaanku saja saat aku lagi grogi begini.
"Hati-hati ya Den, kalau di bully jangan nangis, lapor Pak Ujang aja."
Aku hanya menoleh ke arah sumber suara, sungguh geram hatiku, dia memang supir kurang ajar. Tingkahnya selalu saja bikin aku marah, ingin rasanya aku sumpal mulutnya pake batu, biar kapok dia. Tapi saat Pak Ujang pulang kampung, rasanya sepi tak ada gurauan recehnya lagi.
Pak Ujang tertawa geli melihatku melototinya. Terlihat matanya sipit saat dia tertawa.
Sebelum aku beranjak, aku berpaling lagi ke arah Pak Ujang yang sedang bersiap menyalakan mobil untuk bergegas pulang. Dia pun menoleh "Kenapa? Ada yang tertinggal? Atau kangen sama saya?" sejenak aku terdiam, kedua kalinya dia membuatku geram, huft.. Sabar, kalau dia bukan orang tua, udah aku sikat dari tadi.
"Kok bengong Den?"
"Ibu udah pergi ke Jakarta, Pak? Tanyaku pelan.
"Iya Den, tadi jam 5. Kenapa Den kok sedih lagi, kaya nggak pernah ditinggal Bu Dewi aja deh, padahal kan udah biasa ditinggal dari kecil malah."
Perkataan Pak Ujang membuatku sedih kembali, bagaimana bisa Ibu buru-buru pergi ke Jakarta, di saat anaknya pindah sekolah. Iya tahu, aku bukan anak TK lagi yang kalo sekolah harus dianterin. Tapi ini beda aku ngrasa Ibu bener-bener udah nggak peduli sama aku, dia lebih mementingkan kariernya dari pada aku, anak kandungnya. Ia lebih mempercayai Pak Ujang dan Bi Suri untuk merawatku sejak kecil, sejak usiaku 8 tahun. Dan ayahku sudah meninggal 6 tahun lalu. Hingga Ibu harus banting tulang mengurus aku, menyekolahkan aku. Untung aja Ayah meninggalkan sebuah kantor di Jakarta, bukan meninggalkan Utang, jadi Ibu gak perlu repot melunasi utang. Cukup mengelola kantor hingga menghasilkan pundi-pundi uang.
"Den, ini udah jam berapa, nanti terlambat tau rasa kau." tegur Pak Ujang dengan tegas, logatnya khas Medan, karena memang Ia berasal dari Medan, tapi satu hal yang aku bingung, kenapa namanya bisa Ujang, padahal nama Ujang identik dengan Jawa, sungguh aneh.