5. Speechless

274 24 1
                                    

Suasana semakin kaku. Aku hanya bisa melihat sahabatku, Daniel yang masih dibalut emosi karena Vany. "Van. Kelakuan lo gitu amat sih, gak pantes tau gak, nglempar-nglempar tempat pensil segala lagi, biasa aja kali, gitu amat." seru Daniel seakan tak terima akan perlakuan Vany padaku.

"Rafi yang mulai duluan kok, lagian lo ngapain sih, ikut campur?!" jawab Vany sambil menunjuk ke arah Daniel. Daniel semakin geram, ia tak terima ditunjuk seperti itu. Ia bangkit, dengan masih menatap tajam, ia berjalan menuju ke arah Vany. Sontak, dalam fikirku terbesit akan hal yang tak kuinginkan di antara mereka berdua yang tak bisa membendung emosinya. Aku menarik tangan Daniel memaksa, hingga ia duduk kembali.

"Gue gak ikut campur. Siapapun juga akan bertindak seperti gue. Lonya aja yang aneh, seenaknya aja nyuruh-nyuruh pindah bangku segala."

"Jadi lo nguping Niel? Dasar tukang nguping pembicaraan orang. Laki tapi kok suka nguping, kaya emak-emak aja." gumam Vany mengejek.

"Anjir lo, makin lancang aja lo kalo ngomong, asal njeplak gak dipikir dulu, kalo lo bukan cewek, udah gue tonjok sumpah."

"Apa ha? Apa? Sini aja kalo mau nonjok gue. Gak takut, sini!" emosi Vany semakin menjadi-jadi. Dan herannya semua murid di sini nggak ada yang nyaut ataupun menghentikan pertengkaran mereka. Apakah mereka takut? Tidak berani untuk memecah perdebatan gila ini?

Daniel hanya terdiam. Entah apa alasannya ia menghentikan protesnya ke Vany. Mungkin ia lebih memilih mengalah daripada harus berurusan dengan Vany, si nenek lampir itu. Akhirnya ada juga murid yang mau, sukarela meredam emosi Vany, ia adalah Riska, murid yang duduk di samping Vany, yang dari tadi hanya bisa menyimak pertengkaran Vany dan Daniel. Riska mengajak Vany keluar kelas, entah mau kemana, mungkin mau dibuang ke laut, biar dimakan hiu sekalian. Walaupun Vany mengelak namun Riska tetap memaksanya. Mungkin dalam pikirnya sama sepertiku, takut terjadi hal yang tak diinginkan, seperti adegan bacok-bacokan kaya di TV hanya karena masalah sepele.

"Niel, udah gak usah dilanjutin, hanya karena gue lo jadi bertengkar kan sama Vany." aku mencoba menenangkan Daniel. Aku semakin merasa bersalah, padahal ini masalah aku dan Vany, namun malah melibatkan Daniel. Sahabatku yang lain pun berempati pada kami, satu persatu menghampiri kami, dengan tatapan dan raut wajah bingung.

"Ada apa sih ini, gila. Berisik tau gak? Ribut-ribut ga jelas." ucap Varel dengan menatap aku dan Daniel bergantian.

"Eh.. Raf, lo mendingan nurut aja sama Vany, lo pindah bangku ya." seru Dimas. meyakinkanku. Aku semakin kacau, ternyata memang benar dugaanku. Vany si nenek lampir itu emang berkuasa, memiliki jabatan di kelas ini. Bukan jabatan organisasi, namun jabatan untuk berbuat semena-mena, nyuruh-nyuruh murid lain. Dan sekarang, aku targetnya.

"Tapi kan..."

"Nurut aja!" potong Daniel, ia berbalik menatapku, menegaskan bahwa aku memang harus pundah bangku, terpaksa harus mengalah dari Vany. Aku hanya bisa merenung. Berusaha berfikir jernih.

"Iya Raf. Nurut aja. Lo bisa duduk sama Rian aja ya. Gpp kok.. Walaupun dia dingin, tapi sebenernya dia care orangnya. Yang penting lo bisa dan mau berinterasksi duluan, gue bilang gitu. Karena gue pernah duduk sama dia." kata Alvin seperti angin segar yang menerpa perlahan. Menepis semua anggapan buruk tentang Rian.

"Alah. Lo duduk sama Rian paling beberapa hari doang, setelah itu kabur gitu aja." gumam Bima memecah suasana.

"Iya sih. Aku gak tahan dikacangin, gak enak."

"Lha terus, kalo gue dikacangin gimana? Kalian tega sama gue?" apa mungkin mereka tega membiarkan aku duduk dengan Rian, bisa-bisa aku mati konyol dikacangin Rian.

"Gak Raf, gak gitu amat kok, Alvin mah berlebihan aja kali, lebay. Lo harus tau, murid sini gak cewek gak cowok pada gak mau kalo berurusan dengan Vany, Vany orangnya nekat tau gak. Dia bisa nglakui hal gak masuk akal demi memuaskan kemauannya. Dulu ada murid cewek baru, duduk di samping Aska. Vany cemburu buta juga sama kaya tadi ke elo, dan akhirnya apa? Vany mulai melancarkan aksinya, selang beberapa minggu, murid baru akhirnya pindah sekolah." Daniel semakin meyakinkanku.

My Possesive FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang