Pukul 19.00
Rasha merebahkan diri di kasur sambil menatap langit langit kamarnya. Hari ini rasanya sangat melelahkan baginya. Bukan lelah fisik, tapi lelah batin yang menekannya. Mengetahui fakta menyakitkan tentang orang yang disukainya membuatnya mengeluarkan air mata lebih banyak.
Jujur, sampai sekarang dia masih menyukai Lean walaupun tidak sebesar dulu. Ia menyayangi Lean sebagai sahabatnya sekarang.
Tok tok tok
Ketukan pintu menghentikan lamunan Rasha. Sebuah suara terdengar.
"Rasha ayo kita makan malam dulu. Kamu udah mandi kan?"
"Iya ma. Bentar." Lalu Rasha bangkit dan segera menyusul mamanya yang sudah duluan ke dapur. Rasha menuruni anak tangga dan langsung duduk di meja makan.
"Kenapa kamu? Kok hari ini lemes banget?" Tanya Miya.
"Nggak ma. Cuma capek aja tadi di sekolah banyak tugas." Rasha tersenyum kecil meyakinkan Miya. Miya ikut tersenyum.
"Kamu nggak lupa kan besok hari apa?" Tanya Miya sambil memberikan sebuah piring kepada Rasha.
"Nggak kok ma."
"Besok pulang sekolah langsung pergi ya." Rasha mengangguk.
⛄⛄⛄
Sepulang sekolah, Rasha langsung membereskan buku-bukunya dan pamit kepada teman temannya.
"Buru buru amat Ras, mau kemana?" Tanya Fasha.
"Gue udah ada janji sama mama. Gue duluan ya. Bye semua." Rasha melambaikan tangannya. Mereka membalas lambaian Rasha. Rasha berlari lari kecil menuju halte tempat dia menunggu bus. Lima menit, belum ada tanda tanda bus akan datang, lalu dari arah kanan datanglah sebuah motor dan berhenti tepat di depan Rasha.
"Eh Le- Loen. Kenapa?"
"Kalau lebih nyaman Lean nggak apa apa juga kok. Gue juga suka dipanggil Lean." Loen membuka kaca penutup helmnya. Rasha hanya tersenyum.
"Lo mau pulang? Cepet amat biasanya nongkrong dulu." Loen menopangkan kedua tangannya di stang motor.
"Gue ada janji sama mama. Tapi busnya lama banget datang. Gue takut telat." Rasha menoleh ke kanan kiri.
"Gue antar mau?" Tawar Loen. Awalnya Rasha ingin menolak, tapi karena saat ini dia sedang terburu buru juga, jadi dia menyetujui tawaran Loen. Loen menyerahkan helm yang sudah dibawanya kepada Rasha. Motor mulai melaju.
"Lo biasanya ngantar siapa?"
"Nggak ngantar siapa siapa. Kenapa?"
"Terus helm ini?"
"Gue emang sering bawa helm dua. Lo tau kan kadang ada yang nebeng atau gimana, buat jaga jaga aja." Jawab Loen.
"Di Willion ada motor juga nggak?"
"Nggak, tapi ada yang lebih keren. Cara kerjanya mirip sih, ntar kalau ke sana Lo liat sendiri deh." Loen tersenyum. Rasha hanya mengangguk angguk. Beberapa menit kemudian, motor berhenti tepat di rumah Rasha. Di sana terlihat Miya yang sudah siap dengan sebuah keranjang dan sekantong plastik di tangannya.
"Rasha kamu kok- eh ada temen Rasha. Kamu diantarin dia? Nama kamu siapa? Kok kamu bisa bareng dia? Eh masuk dulu yuk. Kasep ya." Miya menyambut Rasha dan Loen dengan pertanyaan bertubi. Loen tersenyum canggung. Rasha menyalami Miya dan langsung menerobos masuk untuk bersiap siap. Hari ini adalah hari penting baginya.
"Ehmm saya Lo- Lean Tante. Teman Rasha. Tadi kebetulan ketemu di halte terus saya ajak aja sekalian pulang Rashanya." Loen turun dan menyalami tangan Miya.
"Ooh mau masuk dulu?" Tawar Miya.
"Nggak usah Tan, Rasha kayaknya keburu banget pengen pergi, jadi saya duluan aja." Loen pamit dan hendak berbalik, tapi Miya menahannya.
"Eh Tante boleh minta tolong nggak?"
"Kenapa Tante?"
"Kamu tolong anterin Tante sama Rasha ya, ini mobil Tante bannya bocor, kalau bawa motor Tante nggak bisa bonceng orang, boleh ya?" Miya memohon. Loen mengangguk, tidak masalah kalau hanya mengantar.
"Rasha kamu udah siap?" Teriak Miya.
"Iya maa bentar." Balas Rasha. "Loh? Lo belum pulang?"
"Belum, mama minta tolong dia buat ngantarin kamu, kamu kan tau mama nggak bisa bawa motor kalau sambil boncengan." Miya yang menjawab. Rasha mengangguk.
Lalu Miya dan Loen mulai menjalankan motornya. Miya memimpin di depan sebagai penunjuk jalan. Mereka menelusuri jalan yang sepi, lalu masuk ke sebuah gang kecil yang sepi. Loen tidak tahu kemana arah tujuannya. Lalu dia bertanya kepada Rasha.
"Ras, ini sebenarnya kemana? Kok gue kayaknya belum pernah lewat sini ya?"
"Ke makam papa gue. Maaf ya mama gue suruh Lo nganterin ke tempat kayak gini."
"Nggak apa apa kok Ras. Santai aja. Di Willion tempatnya ada yang kayak ginian juga kok."
Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Miya dan Loen memarkirkan motornya. Rasha lebih dulu menuju makam papanya. Dia sangat rindu dengan papanya. Orang yang sangat dia sayangi. Pahlawannya, laki laki yang selalu melindunginya, tapi tidak lagi saat Rasha berusia sepuluh tahun. Semua berubah, tepat di hari ulang tahun papanya, sebuah petaka menimpa.
Saat papanya sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, mobil papanya menabrak sebuah pohon, dan mengakibatkan papanya tidak sadarkan diri. Tepat saat itu pula, papanya pergi untuk selamanya. Setidaknya itulah cerita yang didengarnya dari Miya.
Miya menyusul Rasha. Loen berdiri sekitar sepuluh langkah dari ibu dan anak tersebut. Rasha dan Miya mulai menabur bunga dan mendoakan mendiang papanya. Setelah selesai, Miya dan Rasha bangkit dan mendatangi Loen.
"Lean, kamu pamit dulu ya sama papa Rasha." Miya memegang lengan Loen. Loen mengangguk dan mulai mendekati makam papa Rasha. Loen berjongkok, dia menatap nisan di hadapannya dan terkejut melihatnya.
Sagio Agwen, nama yang sangat dia kenal, yang sangat dia dan orang orang sanjung. Dan ternyata orang itu adalah papa dari temannya sendiri. Loen berdoa cukup lama, setelah itu dia kembali menemui Miya dan Rasha yang sudah menunggunya.
Mereka pulang, seperti tadi Rasha dan Loen berboncengan sedangkan Miya sendiri. Mereka sampai di rumah lima belas menit kemudian.
Rasha turun dari motor dan mengucapkan terima kasih.
"Emm Tante aku boleh nanya sesuatu dulu nggak?" Loen bertanya canggung.
"Boleh, mau nanya apa?" Tanya Miya lembut.
"Sagio Agwen, beliau papa Rasha?" Rasha dan Miya terkejut mendengar pertanyaan Loen.
"Kamu kenal suami Tante?"
——————————————————
Uhuy
Pakabar?
Sorry telat up yaa
Maaf juga kalau agak gaje
Love you
Muaa muaa 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me
Fantasy'Percaya gak kalau kita punya kembaran yang punya dunia sendiri!?'