Ketika mengerjap, aku tahu hari ini akan berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Senyum manis sudah terpampang begitu aku membuka mata. Kalah telak hangat sinar mentari pagi ini, benakku.
Senyumku melebar saat instrumen magis seakan mengiringi ucapan selamat paginya. Diam-diam aku menunduk, khawatir saja kalau ia sampai tahu jantungku detaknya sedang bertalu-talu.
"Pagi," sapaku balik.
"Aku sudah buat sarapan."
"Oh, iya. Terima kasih."
"Ada lagi yang kamu butuhkan?"
Aku tersipu. "Sudah cukup, kamu bukan pelayanku."
Ia justru tertawa. "Aku hanya ingin kamu merasa nyaman."
"Aku sudah sangat nyaman. Kamu bersantai saja. Ini masih pagi."
Ia mendekat ke arahku. Wangi khasnya yang tercium membuatku tak berselera lagi mencicipi alkohol. Melihatnya sudah begitu menyenangkan.
"Bersantai? Di sampingmu?"
Ah, bohong betul kalau aku bilang biasa saja. Aku ini mudah sekali gugup. Tapi aku juga pandai dalam menahan dan berpura-pura.
Kutepuk sisa ruang kasur di sebelahku.
"Kemari saja. Aku akan mandi," kataku.
Kupikir ia menangkap basah aku yang tergugup dan gagap. Kali ini tawanya lebih lebar dari sebelumnya.
Ada sesuatu yang menarik kedua ujung bibirku saat mendengarnya, suaranya. Kembali kepalaku menunduk. Kali ini bukan instrumen magis, tapi tawanya memang betul-betul menghipnotis.
Namun sesuatu tampak ganjil. Semakin lama, suaranya makin samar. Seperti ia tiba-tiba terbawa angin atau badai, atau seseorang, hingga menghilang. Lantas aku mendongak untuk mendapati sosoknya yang telah lenyap.
Terdiam beberapa saat. Kemudian aku mengerjap. Kutepuk pipi berulang kali dengan beragam gerak kepala, siapa tahu aku masih mimpi.
Saat mendengar jam weker di nakas berbunyi nyaring, aku membeku. Sadar bahwa baru kini aku seratus persen terjaga.
Sembari memaksa bersiap, aku mendesah. "C'est la vie, Mon Cher."
Apakah halusinasi memang bahan bakar pertama sebelum memulai hari? Apalagi sosok itu .... Ya ampun, menyedihkan sekali gadis yang sedang bercermin kini.[]
Ilustrasi diunduh dari Pinterest
KAMU SEDANG MEMBACA
La Neige
Teen FictionImaji-imaji itu menghampiri. Awalnya satu, lalu beruntun seolah tak ada habis. Dari semua yang kurasa, dinginnya paling membekas. Sampai aku harus tergugu sendiri, menangis, dan nelangsa sendiri. Imaji-imaji itu datang tanpa permisi, lalu pergi tanp...