Hari ini, kurasa aku menyukai dua orang berbeda secara bergantian. Sungguh aku yakin betul bahwa itu hanya ilusi. Tidak mungkin perasaan suka bisa muncul dan lenyap begitu saja. Seyakin pikirku, yang mencuat bagai akar mangga di halaman belakang rumah nenek ini ialah rasa kagum. Ya, seluruh aku meyakin itu.
Pernah kukatakan bahwa aku mengagum nama seseorang yang akhirnya kusuka seluruhnya? Ya, itu aku. Tapi kini tidak lagi. Sama seperti sekarang. Dan ini, akhirnya pasti sama seperti itu.
Kuberitahu, aku mengagum tingkah keduanya. Bagaimana kedewasaan yang tak pernah kusangka-sangka muncul dari dalam diri mereka. Bagaimana bicara mereka sepiawai orkestra di panggung-panggung sandiwara. Kediaman mereka adalah ketenangan dan perhatian, sedang bicaranya adalah pusat seluruh mata memandang.
Juga aku bertanya-tanya bagaimana bisa wajah manis mereka yang tak pernah menjadi keterlaluan di mataku. Menarik diri mata ini pada setiap geraknya. Menjelmakan kedua iris ini mata kamera yang ia disorotnya. Lalu, terdengung jelas di telinga suara-suara itu tiada sendu.
Ah, hati, kukatakan di suatu malam bertabur lelampu kerlipan. Kau sungguh seorang pecinta sejati. Bagaimana bisa tanpa ia berbuat apa-apa kau jatuh padanya?
Hei, kau, balas hati saat itu juga. Kita memang ada untuk mencinta. Cinta dimulai dengan suka. Namun tanpa suka, tak berarti kagum tiada jua. Aku memang pecinta sejati. Rasa ini setulus diamnya dan aliran rasa yang dirimu raba dalam aku. Yang kucinta ialah dirinya, bukan sesuatu yang ia adakan supaya aku mencintanya.
Betul. Tapi ini semua ilusi, bukan? Maksudku, bukankah mereka memiliki kemiripan? Jarang bicara namun tiap kata yang terlontar dari mulutnya bagaikan perak yang mengalir deras di sela-sela bebatuan. Dan, kurasa aku menyukai lelaki yang memakai kacamata?
Lucu sekali. Memang itu. Tapi berkacamata? Kau pikir mereka keren, bukan? Lagipula, katakanlah, kau jatuh sebab senyum mereka padamu. Kehangatan yang kau salahartikan. Benar?
Apa maksudmu?
Kau tak sering menerima itu. Mentari pagi.
T-tapi ... kau tahu ada batas jelas antaramu dan seorang di taman itu?
Ah, hahaha. Wajahnya terlalu manis untuk kau lupakan. Dan tingkahnya, bukankah karena itu kau jatuh hati hingga seluruh matamu adalah utaranya si selatan ia?
Y-ya, memang benar. Tapi siapa yang memperbolehkanmu?
Aku. Aku. Aku yang memperbolehkanmu. Ingat syaratku? Kau pasti tahu batasan. Terutama soal iman.
L-lalu bagaimana dengan seseorang di dekat dinding putih menghadap senja itu?
Bukankah ia amat manis? Dan ia bicara seperti air sungai di musim penghujan. Bersuara rintik-rintik layaknya instrumen Chopin yang amat kau sukai dan jika bisa ucapannya beraroma, kau akan temukan petrikor di sana. Lelaki itu, yang kau yakini telah memiliki kekasih, bukankah hanya kau kagumi saja? Maka tak apa. Aku yang memperbolehkannya.
K-kenapa?
Karena kau perlu merasakannya. Aku mempercayaimu.
Ya, mungkin kau benar. Seluruh rasa ini tak akan bertahan begitu lama. Aku perlu merasakannya.
Ya, seperti itu! Tak apa. Tak apa. Ketika kau berpisah dengannya, tak berada pada ruang sama di waktu sama, kau baik-baik saja.
Baik. Terima kasih, terima kasih.
Tapi jangan pernah lupakan satu hal; jangan buat dirimu bersama dengan keduanya terlalu lama. Yang kau sukai adalah apa yang mustahil bisa mereka tanggalkan. Juga, aku bukan malaikat, ingat.
Surabaya, 18 Mei 2019
My productive day yeay![]
Gambar diunduh dari Pinterest.

KAMU SEDANG MEMBACA
La Neige
Teen FictionImaji-imaji itu menghampiri. Awalnya satu, lalu beruntun seolah tak ada habis. Dari semua yang kurasa, dinginnya paling membekas. Sampai aku harus tergugu sendiri, menangis, dan nelangsa sendiri. Imaji-imaji itu datang tanpa permisi, lalu pergi tanp...