Peran

75 6 15
                                    

                                 -_-_-_-_-

“Kau tidak merindukan ayah?!”

Kaki Anna baru saja meninggalkan anak tangga terakhir ketika suara yang nyaris tiga bulan ini tidak terdengar itu menyapanya. Ia berpaling demi memastikan bahwa si pemilik suara itu nyata bukan halusinasi semata. “ayah,”ucapnya seperti berbisik.

Dennis, sang ayah tersenyum, “kau tidak ingin memeluk ayah?”

Anna menatap sang ayah tak terbaca. Dadanya bergemuruh oleh gelombang emosi yang perlahan merayapi sekujur tubuhnya, menuntut perealisasian. Sembari melangkah ogah-ogahan, sebisa mungkin Anna mempertahankan raut wajah datar.  Perang dalam batinnya kian bergolak hebat. Hatinya bersorak senang namun pikirannya tak sejalan.

“Senang ayah di sini.” Anna nyaris gagal mengontrol tone suaranya agar tetap normal. “aku kangen ayah.”

“Ayah juga kangen Anna.” Pria tiga puluh tiga tahun itu memeluk sang putri erat meluapkan semua kerinduannya selama ini.

Tak jauh dari mereka. Ihay sang ibu berdiri. Ia menatap pasangan putri dan ayah itu haru. Perasaan hangat mengalir di sekujur tubuhnya. Baginya tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari pada melihat keutuhan keluarganya. Moment seperti ini jarang terjadi. Baik Anna maupun sang suami sering sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi sangat di sayangkan bila dihancurkan namun mengisi perut pun harus diutamakan.

“Oke saatnya sarapan,” ujarnya mengingatkan, membuat sang suami terpaksa menguarai pelukannya dengan sang putri.

Anna bertopang dagu, mengamati gerak-gerik kedua orang tuanya bergantian. Sang ayah sedang membaca koran sembari menikmati kopi. Sedangkan ibunya sibuk menyiapkan sarapan mereka. Pemandangan yang indah, seandainya saja itu bukan sekadar lakon belaka.

“Berapa lama ayah akan tinggal?”

Dennis tampak berpikir,”sekitar satu minggu. Kau tau kan perkerjaan ayah banyak. Memang kenapa? Kau ingin ayah tinggal lebih lama.”

“Uh! Yah,” ujarnya, bohong. Satu minggu, Anna mencatat itu dalam otaknya sembari merencanakan untuk melingkari kalender di kamarnya nanti. “bisakah ayah mencari pekerjaan lain?”

“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”

Karena aku sudah tau semuanya. “hanya ingin melihat ayah setiap hari.”

Anna menahan diri untuk tidak menampilkan raut wajah marah. Ia harus bertahan, melakoni peran putri baik hati yang sangat merindukan sang ayah. Demi ibu Anna menekan kan pikiran itu kuat-kuat.

Dennis menatap Ihay sesekali melirik sang putri dari sudut mata mengukir senyum jahil. “Hay, sejak kapan putrimu jadi manja begini.”

Sejak rahasiamu kuketahui. Anna memutar bola mata bosan menanggapi godaan sang ayah namun ia cukup pintar untuk tidak tertipu lagi. Masikah  moment ini akan terulang bila semuanya terungkap?  Pertanyaan itu mengusik seketika. Kepalan tangan Anna di bawah meja mengerat. Bayangan adegan yang diliatnya waktu itu kembali berputar. Keluarga besar yang utuh tertawa bahagia. Ya keluarga ayahnya yang lain.

-_-_-_-_-_-_-_-

Saga masih setengah mengantuk pagi ini ketika melintasi koridor sekolah. Semalaman ia menghabiskan waktu dengan menonton pertandingan tim sepak bola favoritnya. Sesuatu yang sama sekali tak pantas mendapat apresiasi. Kalau saja sang mama tidak meneriakinya pagi ini. Bisa dipastikan dia akan terlambat. Tapi mau bagaimana lagi? Jika jiwa sudah diperbudak rasa suka maka hal yang harusnya bencana pun akan tetap terasa anugerah.

The power of emak-emak memang mengerikan,” Saga menggerutu mengingat kejadian subuh tadi. Ia menguap pelan, merencanakan akan tidur saat  jam pelajaran nanti. Ia baru saja akan berbelok ketika di depan sana gerombolan fansnya bersiap menyerbu. Ini mulai menyebalkan Saga diam sejenak sebelum mengambil langkah mundur menghindar sebisa mungkin. Ia sama sekali tidak siap untuk beramah tama sepagi ini.

Shit!” gerutuan berubah menjadi umpatan saat para Fans  menyadari gelagatnya yang hendak kabur.

“Itu dia,” sala satu dari mereka memekik. Saga mengambil langkah seribu berlari tanpa arah.

Fans atau dalam bahasa indonesianya berarti penggemar. Sebuah sebutan untuk seseorang yang menggemari, menyukai, sesuatu dalam konteks yang lebih dalam. Secara garis besar memiliki fans  itu tidaklah buruk. Mereka bisa jadi penyemangat, pemberi support untuk kegiatan tertentu. Dalam pertandingan misalnya. Saga sangat mengapresiasi untuk bagian itu. Tapi yang namanya sesuatu itu pasti memiliki sisi lain. Teori dua satu dua. Satu itu tempatnya dan dua adalah sisinya. Seperti koin dengan dua sisi yang belawanan. Begitupun dengan fans, terlepas dari semua hal positif yang ada. Fans juga memiliki sisi negatif dan sisi negatif itulah yang tak di sukai Saga.

“Terima kasih sudah hadir, tuan Pradifta,” sindir, Pak Reza ketika Saga memasuki kelas.

Terima kasih pada semangat fans nya yang sudah sangat loyal menantinya pagi ini. Semangat yang tidak pada tempatnya. Saga meringis, menggaruk tengkuknya. Senyum masam menghiasi wajahnya. Suara Pak Reza yang seperti sengaja di kencangkan itu tak pelak membuat Saga menjadi perhatian seisi kelas. Jika ini adegan dalam Anime wajah Saga pasti sudah berasap saking malunya. Terutama ketika matanya beradu pandang dengan Nata. Kawan tengilnya itu tengah membekap mulut, bahunya bergetar menahan tawa di bangku pojok.

Saga mendengus, tak diragukan lagi Nata pasti akan meledeknya sepanjang hari.

-_-_-_-_-_-_-_-

Setiap orang berhak menjadi menyebalkan jika menyangkut hal yang tak disukainya.

Anna tidak tau siapa yang sudah membisikkan kata-kata itu dalam benaknya. Barangkali pengikut si malaikat terbuang. Tapi apa Anna peduli? Jelas tidak. Yang Anna pedulikan hanyalah bagaimana cara selamat dari ide gila sang kepala sekolah. Jadi jangan ceramahi dia untuk sikap tak sopannya barusan. Membanting pintu ruangan kepala sekolah.

Jam tambahan private? Ada-ada saja. Anna mendumel, seribu mantra jahat sudah ia bacakan untuk sang kepala sekolah. Syukur-syukur kalau sala satunya benar-benar berfungsi. Kakinya menghentak-hentak kasar, memaksa siswa yang kebetulan berada dalam radius dekat menyingkir otomatis.

“Lagas Saka!” tanpa tedeng aling-aling ia berteriak kencang. Menarik atensi seluruh penghuni kelas XI B.

“Eh! Kenapa tu anak?”

“Dasar nggak tau sopan-santun.”

“Mengagetkan saja!”

Begitulah setidaknya bisik-bisik yang sempat Anna tangkap. Namun ia mengacuhkannya. Prioritasnya mencari siswa bernama Lagas itu.

“Mana yang namanya Lagas?” Anna berkacak pinggang. Netra coklat gelapnya menyapu kesekeliling.

“Kenapa nyari gue?” sebuah suara menyahut dari balik punggungnnya. Anna berbalik guna melihat si pemilik suara.

“Lo yang namanya Lagas?” Anna memastikan. Dahinya berkerut sesaat, merasa familiar dengan wajah yang ada dihadapannya.

“Kenapa nyari gue?” Lagas mengulang. Matanya tak lepas mengamati gadis dihadapannya. Sedangkan benaknya mulai mengira-ngira alasan kenapa si gadis mencarinya. Tak mungkinkan insident tempo hari?

“Ikut gue!” Anna meraih lengan Lagas kasar, membawanya keluar. Tak sadar. bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang mengawasinya.

TBC.

Be A good reader with vote and comment.

Salam sayang by : Aquinet

13/03/2019

Friendsetter (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang