Terjebak

78 5 3
                                        


Dunia terasa sempit saat kita berusaha menghindari sesuatu.

Lagas menolak untuk percaya pada keabsahan kata-kata itu. Namun keberadaan gadis berponi rata di hadapannya sekarang seakan mematahkan penyangkalan-nya begitu saja. Lagas paling enggan berurusan dengan jenis siswi di hadapannya ini. Tapi entah bagaimana dia malah selalu tersangkut dengan gadis ini.

Rasanya seolah gadis ini diciptakan untuk meneror kehidupannya.

"Denger ya, apapun yang di perintahin Pak Rahmat sama lo nanti. Lo harus nolak."

Anna berkacak pinggang. Raut mukanya diatur segalak mungkin demi memastikan agar Lagas mau bekerja sama mengikuti rencananya.

Lagas menatap gadis dihadapannya bingung. Terang saja, tanpa tau apa perkaranya, tau-tau saja gadis ini memintanya melakukan hal tak masuk akal. Menolak permintaan kepala sekolah? Cari mati itu namanya.

"Kasih tau alasan kenapa gue harus nolak."  Lagas menyandarkan tubuh di dinding. Netra gelapnya memandang jauh ke seberang lapangan.

Setelah mengamuk tak jelas di kelas tadi. Anna menarik Lagas ke ruangan paling ujung koridor dan langsung memintanya melakukan hal gila.

"Supaya hidup lo tenang."

Lagas mengangkat sebelah alis kemudian menjawab tegas. "nggak."

Enak saja si Anabel ini memaksakan perintah. Mana perintahnya tak jelas pula.

"Harus mau!" Anna nyaris kehilangan kesabaran. Mendengar penuturan dari sang kepala sekolah tadi saja sudah membuat kesabarannya menguap. Dan cowok satu ini. Beraninya dia menolak, tambahan dengan wajah datar lagi. "Lo bakal nyesel kalo nolak."

Lagas menatap gadis yang hanya sebatas dadanya itu lama. "gue nggak ngerti apa permasalahannya." Lagas mencondongkan tubuh mengirim pandangan dingin. "dan sampai semua ini jelas jangan memerintah gue seenaknya."

Anna berjengit kaget, mundur tanpa sadar. Hampir dua tahun ia bersekolah di STB baru kali ini ada yang berani menolak permintaannya, lebih-lebih mengintimidasi balik.

.

.

Bagaikan berdiri di tepi jurang dengan singa kelaparan yang siap menerkam di bagian depan. Lagas terjebak dalam situasi sulit. Melawan si singa marah dengan resiko dicabik-cabik atau menjatuhkan diri ke dalam jurang dengan resiko patah tulang. Dahi Lagas berkerut dalam.

Pilihan macam apa ini? Yang manapun ia ambil tetap saja beresiko tinggi. Harus benar-benar dipikirkan dengan cermat kalau gegabah tamatlah riwayatnya.

"Bapak tidak sedang bercanda kan?" Lagas membuka suara setelah keheningan panjang.

Setelah pembicaraan berbalut pemaksaan dengan Anna tak menemui kata sepakat. Lagas akhirnya mengambil inisiatif dengan menanyakan langsung permasalahan-nya pada Pak Rahmat dan di sini lah dia sekarang. Duduk berdampingan dengan Anna yang bersikap seperti beruang marah.

"Tidak, keputusan ini sudah bulat berdasarkan rekomendasi dari para guru."

"Kenapa harus saya?"

Kenapa? Pertanyaan itulah yang berdengung di kepala Lagas sejak tadi. Sejak di mana Pak Rahmat mengatakan hal paling konyol menurut Lagas beberapa menit lalu. Menjadi pembimbing private si Annabelle ini? Apa tidak salah?

Anna itu kan anak orang kelewat mampu orang tuanya bisa saja memasukan dia ke tempat les dengan guru yang lebih memadai darinya di kota ini. Dan juga ada banyak siswa pandai lain di sekolah ini. Jadi kenapa harus dirinya? Lagas tak habis pikir.

Friendsetter (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang