Family

50 5 11
                                    


Otot kening Alona  berkontraksi membentuk tiga garis memanjang kala retinanya menangkap kerlap-kerlip yang berterbangan di udara malam.

"Kunang-kunang," gumamnya penuh rasa heran.

Tangannya terulur membiarkan beberapa seranggga malam yang bernama ilmiah Lampirydae itu hinggap. Agak mengejutkan sebenarnya mendapati fakta bahwa Insect itu bisa ada di tengah kota megapolitan seperti ini. Mengingat sudah sangat jarang keberadaan hutan yang merupakan habitat alami mereka.

"Cantik." bola mata sewarna madu itu berbinar terang. Menatap takjub pada pada hewan mungil bercahaya itu. "bagaimana kau bisa begitu cantik?" Jemarinya digerakkan menyentuh bagian tubuh yang bercahaya. Senyum manis melengkung indah di bibir pinknya. "andai aku juga bisa terbang sepertimu pasti sangat menyenangkan." Gadis itu masih bermonolog mengajak hewan malam itu berbincang-bincang.

"Kenapa bukan manusia saja ya? Yang memiliki sayap."

Masih dengan senyuman melengkung. Gadis blasteran itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah ponsel berwarna gold. Mengotak-atik menu, gadis itu kemudian, membidikan lensa kamera ke arah tangannya yang tengah dihinggapi hewan itu. Satu, dua, tiga, Alona terus memotret dari berbagai sisi. "Wah, benar-benar indah." lagi-lagi bibirnya mengeluarkan pujian.

"Jangan disentuh kak." Sebuah suara cempreng menginterupsi kegiatan Alona. Mengangkat pandangan ia mendapati seorang bocah laki-laki.

"Kenapa?"

"Kunang-kunang itu kan mata hantu."

Alis Alona terangkat mendengar jawaban polos itu. Bibirnya berkedut nyaris meluncurkan tawa geli.

"Siapa yang bilang?"

"Nenek."

Ah, dongeng rakyat Indonesia. Kepercayaan dan juga mitos-mitos mengenai kunang-kunang memang banyak beredar di kalangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Para penduduk suka mengaitkan  hewan malam itu dengan hal-hal berbau supranatural. Padahal ada penjelasan ilmiah yang sudah terbukti keabsahannya.

"Masa sih? Kok si hantu biarin ya matanya terbang ke mana-mana? Emang dia enggak takut matanya tersesat apa?"  Alona melirik si bocah, mengamati raut mukanya yang mendadak kebingungan.

Bocah kecil itu membuka mulut bersiap meluncurkan jawaban. Namun panggilan dari sang ibu memaksa niatannya urung. Ia menatap Alona dan sang ibu bergantian.

"Udah sana, nanti di marahin lo."

"Pokoknya kunang-kunang itu mata para hantu." Bocah itu melempar pandangan sengit, sebelum akhirnya berlali menghampiri sang ibu.

Alona Terkikik geli, sedikit banyak terhibur dengan kejadian barusan. Yah, meski tak bisa di pungkiri pemandangan keluarga bahagia di seberang taman membuat hatinya sedikit tercubit.

"Bahkan kunang-kunang pun punya keluarga," gumamnya getir.

Ia membuka galeri penyimpanan di ponsel. Ketika sedang asyik melihat-lihat hasil jepretannya. Tiba-tiba layar ponselnya berkedip menampilkan latar baru dengan tulisan 'daddy calling'

"Hallo, dad," sapanya begitu tersambung.

"Kamu di mana?" sahut suara di seberang, sedikit cemas. "kenapa belum pulang?"

"Aku lagi di jalan, tadi ada tugas kelompok," Alona menjawab dengan lancar meski itu sebuah kebohongan. "aku akan sampai dalam sepuluh menit." janjinya, lantas bangkit dari posisi awal.

"Sampai ketemu di rumah dad!" setelah itu ia mematikan sambungan, melangkah lebar-lebar nyaris setengah berlari.

Tak lama kemudian Alona sudah memasuki kawasan sebuah apartemen elite. Ia mempercepat langkah begitu matanya menangkap ruangan di lantai delapan gedung sudah menyalah. Ayahnya pastilah sudah ada di rumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Friendsetter (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang