The mask

89 9 16
                                    


Holla! This is the first chapter. Hope you'r enjoy with story.

                                  *
                                  *
                                  *

Hidup penuh dengan topeng-topeng emosi

Alona amat sangat memahami artian dari pepatah itu. Hidup di tengah lingkungan yang selalu mengedepankan pandangan masyarakat sebagai patokan, membuatnya mau tak mau menggunakan itu disetiap harinya. Ia sadar bila sedikit saja berkelakuan melenceng maka sudah ada sangsi khalayak ramai sebagai konsekwensinya. Karena itulah sebisa mungkin ia bertindak sama, sesuai dengan normalnya remaja yang mementingkan ke eksisan meski harus mengorbankan nurani.

Seperti saat ini, ia diam membisu. Membiarkan begitu saja, Anggela teman dari SD-nya menyiksa beringas seorang siswi. Tak puas menjambakki rambut, Angela bahkan mengguyur siswi itu dengan air selokan. Alona tetap diam menunggu sampai penindasan itu selesai dengan sendirinya. Bukan tak mau melerai, hanya saja saat ini ia ingin semuanya cepat berakhir agar dia bisa menjalani rutinitasnya sebagai pelajar. Lagipula pengalaman mengajarkan bila berusaha menghentikan, maka Angel akan menyiksa lebih parah dari sekedar siraman air comberan.

"Udah yuk njel," salah satu dari teman Angela berucap. "bentar lagi masuk. Lagian, ni anak ga seru lagi buat di ajak main."

Main? Dalam hati Alona mencibir sinis. Mempertanyakan kesehatan akal mereka. Menyiksa orang lain itu mereka anggap main? Sungguh tak bermoral. Namun Alona cukup sadar diri. Ia tak pantas menyatakan kalimat manusiawi itu. Ia bahkan lebih tak bermoral dari orang yang di komentarinya.

"Girls, cabut!" Angela, pemimpin dari perkumpulan gadis penindas itu memerintah para dayangnya. Ia mengibaskan rambut panjangnya, melenggang pongah tanpa rasa bersalah.

Alona tak langsung mengikuti. Ia melirik gadis tak berdaya itu sekilas kemudian mengikuti Angela.

"Dua belas menit," siswi itu bergumam seraya menatap jam tangannya. "lebih singkat dari minggu lalu."

Perlahan siswi itu berdiri, menyeret langkah kaki. Tujuannya ialah toilet. Ia harus segera membersihkan diri agar bisa mengikuti pelajaran. Kalau tidak, hukuman yang lebih parah sudah menantinya.

*******

"Nih, pakai."

Sebuah tangan yang tengah memegang seragam olaraga terulur di depan wajah Monda. Memaksa Monda yang sedari tadi sibuk membasahi rambut di wastafel jadi mengangkat kepala. Ia menatap uluran tangan itu sekilas.

"Gua ga butuh kasihan dari lo." Monda merespon acuh.

Sejenak Monda merasa tak enak namun di tepisnya. Saat ini ia tak butuh apapun kecuali ketenangan. Berinteraksi dengan orang kalah emosi tengah menggelora akan menimbulkan permasalah baru. Monda tak mau sampai lepas kendali. Menanggalkan topeng yang selama ini ia gunakan. Dia tak boleh gegabah, segala sesuatu harus di pertimbangkan demi tujuan besarnya.

"Cuma pengen bantu doang. Terserah sih kalo ga mau." gadis itu menarik tangannya. Jengah dengan sorot prasangkah yang dilemparkan Monda. "curiga itu memang sifat lumrah manusia tapi alangkah baiknya bila tidak memandang segala sesuatunya dengan sama."

Telak! Pernyataan itu membungkam Monda, melululantak-kan segala praduga negatif yang bersarang dibenaknya. Sadar bila kelakuanya sudah melewati batas, Monda menurunkan emosi. Tak seharusnya juga ia bersikap kasar seperti tadi. Menarik napas dalam Monda membalikan badan menatap lawan bicaranya.

"Sorry, gue ga ada niat bikin lo tersinggung. Gue cuma lagi..

"Ga masalah." Gadis itu angkat bahu, menanggapi biasa atau tak peduli. "gue ngerti kok. Wajar lo curiga kalo tiba-tiba ada orang asing yang nawarin kebaikan."

Ragu-ragu, Monda meraih seragam itu, "Makasih, nama gue Monda."

"Gue Anna," balas gadis itu, memaksakan senyum.

"Gue pake ya," Monda berujar canggung. Anna mengangguk sebagai respon, menunggu, ia baru pergi ketika Monda menghilang di balik salah satu pintu Toilet.

*******

Layaknya idol terkenal yang selalu menjadi pusat perhatian. Sagara Pradifta, memiliki berjibun fans yang mayoritas kaum hawa. Kaya, paras rupawan, menyandang gelar the most wanted boy, di sayangi para guru, serta di segani kawan sepermainan.

Harusnya, Saga bangga dengan semua pencapaiannya itu. 'HARUSNYA' Saga menambahkan bold pada kata itu. Harusnya, namun semua justru sebaliknya, ia sangat tidak nyaman dengan perlakuan berlebihan itu. Bukan, bukan ia tak mensyukuri apa yang diberikan tuhan. Hanya saja terkadang ia juga memerlukan ketenangan, privasi. Karena biar bagaimanapun juga, ia sama seperti remaja lainnya. Seorang pelajar dengan gelas kosong yang perlu diisi dengan ilmu pengetahuan.

"Woi! Melamun aja!" Nata, sahabat kecilnya muncul dengan dua buah botol air mineral. "kesambet baru tau rasa lo."

"Kan ada lo, tukang ruqiyahnya," balas Saga, merampas salah satu botol dari tangan Nata. Sorot mata jahil menghiasi bola matanya, membuat Nata mengangkat alis.

"Fans lo tambah banyak ya." Celetuk Nata, meneguk air mineralnya sembari menatap kumpulan siswi kelas satu yang berjejer di pinggir lapangan. Ramai seperti biasa batin Nata.

Melihat bagaimana tangguhnya perjuangan para perempuan yang bernaung di bawah kata 'Fans'. Rela berdiri, panas-panasan, menghabiskan waktu berjam-jam, hanya demi melihat sang idola. Nata jadi penasaran, sebenarnya bagaimana para fans itu melihat idola mereka. Samakah itu dengan orang lapar lalu disuguhi makanan? Atau seperti penjelajah gurun yang bertemu oase? Nata tak bisa menyimpulkan karena sepertinya lebih dari itu. Jujur saja kalau diizinkan serta bisa Nata pasti akan dengan senang hati mengintip isi kepala para siswi itu. Terutama mereka yang kelewat fans, fanatik. Saking fanatiknya, dalam beberapa kasus idol terkenal, tak jarang para fans itu melakukan hal nekat cenderung berbahaya.

"Gue kok nggak merasa bangga sama sekali ya." Saga menjawab datar. Ia menatap tak berminat pada para fansnya. Huh! Siapa pula yang akan berminat meladeni sekumpulan manusia yang melihatmu bagaikan santapan lezat.

Popularitas itu hal yang mengerikan. Saga menggelengkan kepala.

TBC.

Be a good reader with vote and comment.

Salam sayang by : Aquinet

05/Maret/2019.

Friendsetter (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang