09

41 6 2
                                    

" Jika kau ucap pergimu adalah yang terbaik. Namun, mengapa hatiku tak kunjung membaik?"

~Alia Ludwig

Author pov

Mentari telah menampakan wujudnya. Cahayanya sudah mulai menghangatkan tubuh, pancarannya telah terjatuh dalam pelukan seorang gadis yg kini masih terlelap.

"Ar...fa...n, Arfan jangan tinggalkanl aku! Aku mohon!" Alia terbangun dengan dengan nafas tersenggal - senggal. Dia teringat dengan kejadian yang ia alami sebelum pingsan. Arfan meninggalkannya. Tapi, siapakah yang membawanya pulang?

Joan terbangun karena mendengar perangau kakaknya saat tidur. Dia bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kakaknya kemarin malam. Bagaimana bisa ia pingsan di depan rumah? Dengan perlahan, joan mendekati kakaknya yang terlihat syok. Keadaan Alia saat itu seperti seorang wanita yang baru kehilangan orang yang dia sayangi.

Alia beranjak dari tempat tidurnya. Joan bangkit dan menghampiri Alia. Sebenarnya banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Joan. Namun, ia memendamnya. Yang terbaik saat ini adalah berusaha menenangkan kakaknya.

"Kakak, kau mau kemana?" Ucap Joan ssmbari menahan tangan Alia.

"Aku harus menemui Arfan. Dia tidak boleh memperlakukanku seperti ini!" Alia berusaha melepaskan tangan Joan yang menahan kepergiannya.

"Tenanglah, kakak! Apa yang sebenarnya terjadi?" Alia tidak menghiraukan pertanyaan Joan. Ia masih berusaha melepaskan cengkraman Joan.

"Aku mohon Joan, biarkan aku pergi!" Alia mulai terisak. Ia tak terima. Mate yang ia percayai ternyata meninggalkannya. Pikirannya kacau parau, seperti orang yang kehilangan hidupnya. Jiwa Alia seakan pergi bersama angin yang menuntun matenya pergi. Hatinya hancur lebur, bak sebuah tombak telah menghunus hatinya hingga hancur tak berwujud.

Joan semakin bingung dengan apa yg sebenarnya terjadi. Kaki Alia melemah. Ia terduduk dilantai sembari memegangi lututnya dan menangis. Joan berjongkok. Kemudian memeluk saudari sepupunya itu, berharap akan membuat isakan wanita tersebut reda. Dia tak tau apa yg sebenarnya terjadi. Tapi, ia bisa merasakan kesedian yang amat dalam dari kakak sepupunya tersebut.

"Kakak, jangan menangis! Aku mohon, tenanglah!" Alia melepas pelukan Joan. Menghapus sisa bulir-bulir kecil yang keluar dari pelupuk matanya.

"Kakak, ceritakan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?" rasanya Alia tak sanggup bercerita. Mengingat kejadian itu, hatinya hancur berkeping keping. Alia diam. Joan paham jika diamnya sang kakak itu artinya ia tidak bisa bercerita sekarang.

"Joan, antarkan aku ke rumah Arfan!" Joan menurut. Dia membantu kakaknya berdiri. Kemudian menuntun Alia menuruni tangga dan mengambil kunci mobil.

Saat ini, di rumah tersebut hanya ada Alia dan Joan. Ayah Joan sedang pergi ke Swiss untuk urusan pekerjaan. Dengan terpaksa ibunya ikut untuk menemani sang ayah. Untuk saat ini Joan yang bertanggung jawab terhadap rumah.

*****

Sebuah mobil sport warna biru kini telah terparkir di halaman sebuah Mansion megah jauh dari kota. Alia memencet tombol bel di samping pintu mansion. Namun, tak ada yang datang untuk membuka pintu. Kesabaran Alia telah habis. Ia menggebrak gebrak pintu berwarna putih tersebut dengan harapan akan ada seseorang yg membukanya.

Harapan tersebut harus lupus. Tidak ada satu orang pun yang akan datang membuka pintu tersebut. Mereka seperti hilang di telan bumi. Dengan perasaan kecewa, Alia kembali ke rumah.

"Kakak,  sejak tadi belum makan. Kakak, mau makan apa sekarang?" pertanyaan Joan mengagetkan Alia yg sejak tadi hanya diam melamunkan hal yang tidak diketahui oleh Joan.

"Aku tidak ingin makan, Joan. Kita pulang saja." Joan menurut.

"Kakak, sebenarnya apa yg terjadi? Tubuh kakak disini, tetapi pikiran kakak tidak di sini." Alia diam. Dia tidak ingin adiknya tau. Jika dia tau, pasti dia akan membenci Arfan. Dia tidak mau hal itu terjadi.

"Aku tidak apa-apa, Joan. Fokus saja menyetir." Joan melirik Alia sekilas, lalu menghadap ke arah jalan. Dia masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Alia.

"Joan, jangan beritahu bibi tentang apa yang terjadi padaku." Joan mengangguk.

*****

Jauh di pedalaman hutan,  Arfan beserta keluarga pamannya tengah berada di alam werewolf. Grace sedari tadi memperhatikan keponakannya yang hanya diam mematung. Dia paham, bahwa meninggalkan seseorang yang kita cintai itu menyakitkan. Kasus yang paling serius adalah tanpa alasan.

"Nak, ayo makan! Sejak tadi pagi kau hanya duduk diam disini dan memamdang hamparan mawar putih itu." Arfan menoleh. Dia tidak bernafsu makan. Bagaimana dia bisa makan disaat dirinya telah memasang tombak di hati seseorang? Hatinya juga ikut hancur.

"Aku tidak ingin makan, bibi. Tolong biarkan aku disini! Hatiku rasanya sesak mengingat kejadian kemarin malam. Aku ingin sendiri." Grace mengerti. Dia pergi meninggalkan Arfan yang tengah duduk di taman.

Arfan mengambil selembar daun di bawah kakinya. Daun itu berlubang di makan ulat. Daun berwarna kuning keemasan tersebut, mengingatkan Arfan dengan masa kecilnya.

Flashback on

Pepohonan mulai menjatuhkan bebannya. Angin semilir membelai helaian rambut si gadis kecil. Kaki telanjangnya menginjak rerumputan kering yang haus akan air. Dia berlari mengejar sebuah daun kering berlubang yang terbawa angin.

"Alia, berhenti berlari! Di sini juga banyak daun kering yang telah jatuh. Tidak perlu mengejar daun itu." Gadis itu tidak menggubrisnya, dia masih tetap melanjutkan larinya.

Gadis itu melompat dan berhasil meraih daun yang ia kejar. Namun sayang, dia kehilangan keseimbangan. Gadis itu terpeleset. Kepalanya terbentur sebuah batang kayu yang berada tepat disampingnya.

Bau anyir menelusup di indra penciuman Arfan. Dia panik. Dengan cepat, dia berlari menghampiri gadis tersebut. Cairan kental warna merah keluar dari luka di kepalanya.

Arfan gemetar. Dia tidak ingin sahabatnya itu kenapa-napa. Arfan melentangkan tubuh Alia. Dia mengambil sapu tangan di sakunya dan mengikatnya di kepala gadis kecil itu, lalu menggendongnya ala bridal style.

Flashback off

Arfan memutar daun tersebut. Kejadian saat itu membuat dirinya seperti orang gila. Jantungnya terasa berhenti saat melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu. Sejenak, ia melupakan masalahnya dengan matenya. Hatinya begitu sakit mengingat kejadian kemarin malam.

Dia beranjak bangkit dari tempat duduknya. Menghampiri hamparan mawar putih di depannya. Memetik satu, lalu berjalan pergi. Ia putuskan menulis surat untuk Alia. Arfan mengambil kertas dan pulpen di ruang kerjanya dan memulai menulis surat.

*****

Surat itu selesai. Arfan memasukkannya ke dalam amplop lalu menyuruh betanya untuk pergi mengantarkan surat tersebut. Dia berjalan menuju jendela, menatap langit biru yang seakan mengutuknya karena telah meninggalakan matenya. Sejak kejadian kemarin, Alex, wolf Arfan, masih tidak mau berbicara dengannya.

Dia sendirian. Seluruh dunia menjauhinya. Sahabatnya telah tiada. Wolfnya tidak mau berbicara dengannya. Matenya? Dia sengaja menjauhinya agar dia tidak terluka. Dia tak sanggup melihat matenya terluka. Dan orang tuanya seakan menghukumnya karena meninggalkan matenya, mereka tidak mau berbicara dengan Arfan. Sepi.









*****
Hai, readers!

Lama tak jumpa...

Jangan lupa voment dan juga follow ya...

Aku follback kok😁

See you again

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Mate Is My Childhood FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang