--9--

208 29 1
                                    

🎶sasil oraejeonbuteo
neoreul johahago isseossdago🎶

--Samuel Winter Night--

"Sebenarnya, sudah sejak lama
aku menyukaimu." Haruto

Semarah - marahnya gue, badmood, ataupun kesal. Gue pastiin, bahwa gue tak bisa berpaling dari sosok Lia. Salah satunya seperti saat ini. Gue duduk di kursi halte bersama Lia.

Kami berdua duduk dalam hening. Jarak dekat pun tak menjadi penghalang untuk diam.

Dan akhirnya gue disini, berdua saja. Tanpa seorang pung menjadi penghalang.

Tapi, kenapa malah jadi begini?

"Haruto!" panggil Lia

Gue segera menengadahkan kepala gue. Menatap gadis itu dalam hening. Dia berdiri dengan tas yang menggantung di lengan kirinya.

"Busnya sudah datang."

"Oh," gue segera bangun ketika mendapati bus sudah ada di belakang Lia.

Ternyata dari tadi gue melamun.

--**--

Jujur saja, selama kami di dalam bus, tak ada yang kami bicarakan. Lia duduk di dekat jendela bus, menatap keluar dengan tenang. Sementara gue, menatapnya.

Dari halte ke rumah Lia berjarak beberapa meter. Hal ini membuat gue dam dia harus berjalan kaki menuju rumahnya.

Disini memang sejuk. Pemandangannya pun bagus. Jadi tak heran jika cafe tempat kami sering nongkrong itu sangat unik.

"Lia," ucap gue akhirnya.

Berusaha keluar dari mood yang jelek itu sulit. Tapi karena Lia, itu menjadi lebih mudah.

"Hmm?" dia menjawab tanpa melihat gue yang jalan disampingnya.

"Rumah lo masih jauh?"

"Enggak,"

"Kenapa jawabnya enggak jauh aja, sih."

"Memangnya ada apa?" akhirnya dia melihat gue sekilas, tapi karena dia mengetahui bahwa gue memperhatikannya, dia segera berpaling.

"Kalau jauh, bisa lama - lama sama lo."

Bukannya terkesima, Lia malah tertawa kecil sambil mendekatkan jari - jarinya ke dekat mulut.

Apa ada yang lucu?

Setidaknya dia tertawa.

Dan alasan tertawanya adalah gue.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kami tiba di rumah Lia. Rumah yang terlihat nyaman dengan kebun dan banyaknya bunga cantik. Tidak heran kenapa seorang Lia begitu menyukai bunga.

Karena mereka bersaudara, sama - sama indah dipandang.

"Haruto!"

Saat mata gue kemana - mana, disitulah terhenti karena suara yang lembut itu.

"Makasih."

Dia terus mengucapkan terima kasih. Dari awalnya di surat dan berakhir langsung seperti sekarang.

Kapan bilang i love you nya?

Menghayal lo Haruto (-_-)

"Capek juga, ya kalau jalan kayak tadi setiap hari."

"Kalau sudah biasa, tidak jadi masalah."

"Iya, gue rasa begitu."

Gue bersandar di gerbang, sambil melihat sekeliling. Sebenarnya berharap dia suruh masuk. Tapi sudahlah, Lia orangnya tidak pekaan.

"Tenaga gue langsung hilang. Padahal sudah diisi penuh waktu di cafe tadi."

"Lia! Kenapa di luar?"

Tiba - tiba seseorang datang menghampiri kami. Dia seorang ibu paruh baya yang memiliki kulit putih dan rambut panjang. Saat ini beliau membawa sebuah tas belanjaan yang berisi buah dan sayur di dalamnya.

Sesegera mungkin gue membenahi posisi. Berdiri lebih sopan dan memberi tatapan polos. Rasanya dia adalah keluarga atau tetangga Lia.

"Ibu." Lia tersenyum lalu mencium tangan ibunya.

"Temannya Lia, ya?" tanya beliau bergiliran memandangi Lia dan gue. Agak rancu untuk menjawab karena gue enggak tahu, pertanyaan itu buat siapa.

"Saya Haruto." Gue mendekat dan meraih tangan ibu Lia. Dia terlihat menunjukkan senyumnya saat gue menengadahkan kepala setelah mencium tangan ibu Lia.

Calon mertua:)

"Lia enggak biasanya ngajak cowok ke rumah," goda ibu Lia.

"Berarti pernah dong bu?" tanya gue.

"Pernah sesekali. Tapi udah dulu banget. Zaman dia TK."

"Yah," mendengus kesal.

"Kenapa Haruto?"

"Enggak bisa jadi yang pertama."

Ibu Lia tertawa mendengar pernyataan gue. Hal itu pun membuat gue senang. Apalagi bonus senyuman Lia yang membuat gue ikutan senyum.

"Haruto ini bisa saja. Ayo masuk nak!" Ibu Lia membukakan gerbang dan menyuruh gue masuk. Senangnya. Akhirnya yang gue tunggu - tunggu dipekain calon mertua.

--Perjuangan tiada tara--
--Ayo tebak, apa yang bakalan terjadi selanjutnya?--

--Haruto

L I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang