Selepas shalat isya’, Farhan dan keempat sahabatnya kembali menemui Ustadz Gofar untuk mengetahui kepastian atas misinya itu. Merekapun mengerumuni ustadz Gofar yang pada saat itu hendak keluar dari masjid usai melaksanakan shalat isya’ yang dilanjutkan shalat sunnah. Langkah ustadz itu dihentikan oleh kelima santrinya. Mau tidak mau ia harus mendengarkan apa yang akan mereka tanyakan padanya.“Assalamu’alaikum ... Afwan, Ustadz. Kami mengganggu waktu Ustadz,” ucap Dedi seraya meraih tangan ustadz Gofar.
“Wa’alaikumsalam. Iya, gak apa-apa. Lagi pula saya sedang santai. Dan saya gak merasa terganggu ... Bahkan saya merasa senang bisa berdiskusi dengan kalian semua. Ngomong-ngomong mau diskusiin apa kali ini?”
“Kok, Ustadz bisa tahu kalau kami ingin berdiskusi?” tanya Qiki penasaran.
“Iya, iyalah, mana mungkin kalian datang kepada saya hanya untuk mengajak main gundu di lapangan? Nggak, kan?”
“Iya juga ya?” gumam Qiki seraya menggaruk kepala bagian belakang yang tidak gatal.
“Terus bagaimana Ustadz, masalah waktunya? Soalnya tadi siang kami serta pengurus sudah menghadap kepada kiai Amin. beliau sudah memberi izin untuk acara ini. Dan masalah waktu, kiai serahkan kepada kami. Nah, kami bilang bahwa selain kami dan pengurus, juga ada peran ustadz yang akan mensukseskan acara ini. Kami bilang saja bahwa ustadz Gofar lah yang juga ikut berperan. Kiai pun bilang bahwa itu sangat bagus. Makanya kami mendatangi Ustadz lagi untuk membicarakan hal ini,” jelas Farhan dengan penuh semangat.
“Baiklah, anak-anak. Kalau begitu secepatnya acara ini harus dilaksanakan,” ujar ustadz Gofar.
“Kapan, Ustadz?” celetuk Qiki.
“Iya, secepatnya. Kalo gak besok, mungkin lusa.”
“Kalau besok, saya rasa jangan, Ustadz! Waktunya terlalu mepet. Kita kan belum ada persiapan!” usul Qodir.
“Iya, Ustadz. benar kata Qodir. Apalagi para santri belom tahu dan pastinya mereka belum ada persiapan segala macamnya," sambung Dedi menegaskan ucapan Qodir.
“Iya saya mengerti, lagi pula saya belum memutuskan besok atau lusa kan? Ya sudah, kalau begitu lusa kita berangkat. Mulai saat ini juga kalian edarkan surat pemberitahuan pada para santri dan para ustadz di pesantren ini dan jangan lupa persiapkan segala sesuatunya. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.” Ustadz Gofan berlalu meninggalkan kelima santrinya.
“Iya, ustadz. Silakan!” Kelima santri itu serentak jawab salam, “wa'alaikumsalam.”
###
Di koridor menuju kamarnya, Farhan masih tetap berdiskusi bersama teman-temannya yang lain, demi memastikan misinya akan berjalan dengan lancar terkendali, tanpa halangan dan kekurangan sedikitpun. Tak hanya itu harapan Farhan untuk misinya tersebut, melainkan sebuah impian besar untuk bisa bermanfaat bagi sesamanya.
“Ded, file yang mau diedarin sudah di print out, belum?” Tanya Farhan sambil membuka lembaran kertas di tangannya.“Alhamdulillah, sudah saya simpan di lemari.”
“Baiklah, kita mulai kerja dari sekarang” intruksi Farhan pada keempat sahabatnya.
Pembagian tugas telah mereka lakukan. Semua santri langsung bergegas mengemban tugas masing masing. Bukan kali ini saja mereka melaksanakan tugas semacam ini. Sudah beberapa kali para santri mensukseskan misi yang serupa bersama kiai Amin. Sehingga membuat kiai Amin yakin akan terlaksana dengan baik. Mungkin hanya beberapa langkah saja yang harus membawa peran darinya.
Sesampainya di depan kantor pengurus. Qodir, Dreta, dan Qiki tidak langsung menemui kepala pengurus. karena pada saat itu OSIS SMP sedang rapat dengan OSIS SMA membahas kinerja mereka. Meski kepengurusannya dipisah antara tingkat SMP dan SMA mereka harus tetap bergandengan karena mereka berada dalam satu naungan pesantren IQRO’.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khumaira
Teen FictionCinta bukan hanya menaruh rasa kemudian membiarkan tumbuh begitu saja, melainkan memupuknya dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan keyakinan akan apa yang telah Tuhan tumbuhkan, hingga kelak buah manis akan dipetik.