Matahari terlelap di ujung senja, sinarnya telah dititipkan pada sang dewi malam, kemudian ia mengutus gemintang tuk mengiringi langkahnya menemani bumi. Terhias hamparan langit oleh gugusan bintang. Kelelawar malam berlalu lalang mengitari sudut malam yang cukup dingin. Terselimuti kelamnya malam. Suara angin tertiup kencang membawa teriakan Qiki dari luar kamar. Teriakannya begitu menggema ke seluruh gendang telinga. Mengejutkan hati yang mulai terlelap dalam lamunan malam.
"Farhan ... Farhan!"
Terdengar teriakan salah satu santri begitu histeris, Farhan yang sedang khusuk dengan penanya terkejut akan teriakan sahabatnya yang cukup menggetarkan telinga. Ia pun keluar menemuinya. Pena yang semula menari diatas kertas putih seolah tak ada apa apanya dibandingkan teriakan yang ia dengar sebelumnya.
"Ada apa, Ki?"
"Ada telepon dari ibumu. Sepertinya ibumu sedang menangis," kiki menjawab dengan napas ngos-ngosan.
Tanpa jawaban apapun Farhan segera mendatangi ruang TU untuk mengetahui kejelasannya. Dengan perasaan khawatir bercampur takut yang menggebu seakan mengejar dirinya. Sehingga ia harus lebih cepat berlari agar tidak tertangkap oleh perasaannya.
"Assalamu'alaikum, Ibu?"
Terdengar di ujung telepon sana jawaban salam dari ibunya dengan suara serak. Benar yang dikatakan Qiki bahwa ibunya sedang menangis. Perasaan Farhan semakin tidak karuan. Tidak biasanya ia menelpon dirinya dalam keadaan menangis, kecuali jika ibunya sedang ada masalah.
"Han. Ayahmu kumat lagi!"
"Innalillah. kok bisa sih, Bu? Bukankah beberapa bulan terakhir ini tidak pernah kumat? Apa jangan-jangan, Ayah merokok lagi?"
"Entahlah, Nak. Ayahmu tak bisa dibilangin. Selalu saja merokok saat tidak ada Ibu di rumah"
Tanpa terasa airmata Farhan menetes sesaat setelah ibunya menutup telepon. Rasa kecewa atas sikap ayahnya yang tidak bisa berfikir lebih bijak lagi terhadap dirinya sendiri. Kekhawatiran Farhan terhadap keadaan ayahnya, membuat Farhan melupakan segala urusan di pesantren. Tanpa berpikir panjang lagi Farhan segera mengambil tindakan untuk pulang. Ia tidak bisa diam saja menunggu kabar lewat telepon. Sedang ibunya sendirian mengurus Ayahnya di rumah.
Ustadz Gofar yang kebetulan lewat di depan kantor berpapasan dengan Farhan yang baru saja keluar dari ruang TU. Sedikit ada yang aneh dari wajah Farhan. Tak biasanya ia menyapa dengan wajah datar seperti sekarang ini. Ustadz Gofar langsung menanyakan hal apa yang sedang terjadi padanya.
"Ada apa, Han?" tanyanya pada Farhan. Farhan hanya menggelengkan kepalanya.
"Tidak biasanya kamu seperti ini, Han," tambahnya seraya merangkul dan mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang yang tak jauh dari pintu masuk kantor. Sengaja disediakan untuk para siswa sebagai tempat duduk sewaktu jam istirahat.
"Iya, Ustadz. Saya sedang ada masalah. Ayahku di rumah sedang sakit. Jantungnya kumat" ucap Farhan dengan mata berkaca-kaca. Farhan termenung, saat ini dia dihantui rasa bimbang, kacau yang bercampur aduk. Satu sisi Ia merasa bersalah karena tidak menemani ibunya, di sisi lain Ia harus fokus pada UAS yang beberapa hari lagi akan dimulai.
"Ingat! Apapun masalah yang kita hadapi, tetaplah kita kembali pada Allah. Karena sesungguhnya segala yang ada di bumi dan di langit itu adalah milikNya. Maka dengan dikembalikannya pada Allah, Insyaallah segalanya akan dipermudah"
***
Qodir mencoba menghampiri Farhan yang sedari tadi hanya melamun. Ia berusaha memberikan ruang bagi sahabatnya itu. Namun tidak dengan waktu yang lama. Tidak baik jika temannya selalu meratapi hal yang masih diberikan kesempatan untuk diperbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khumaira
Teen FictionCinta bukan hanya menaruh rasa kemudian membiarkan tumbuh begitu saja, melainkan memupuknya dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan keyakinan akan apa yang telah Tuhan tumbuhkan, hingga kelak buah manis akan dipetik.