Di depan Mushollah Pesantren IQRO’ putri, Sri duduk termenung mendekap kedua lututnya. Ia meletakkan dagunya tepat di atas kedua lututnya itu. Tampak raut wajahnya tertekuk begitu sedih.Tidak seperti hari-hari biasanya, Sru terlihat sedang memikul sejuta kekhawatiran. Sri yang selalu ceria, penuh tawa, dan tanpa kesedihan, hari itu terlihat sangat berbeda. Semua sahabatnya tertegun heran melihat Sri.
“Sri, balik, yuk!” ajak Vey sambil mondar-mandir mencari sepasang sandal jepitnya yang kebetulan tak kunjung ia temui.
“Iya, duluan aja,” jawab Sri dengan datar tak ada semangat. Matanya terlipat dengan diikutu tetesan air mata mengalir di kedua matanya. Membasahi tangan yang sedari tadi sebagai penopang dagunya.
“Loh, kamu kok lemas gitu? kamu kenapa?”
“Nggak papa kok, Vey,” Sri menepis ucapan Vey seraya mengusap air mata yang telah basah di pipinya.
“Tapi kamu kok gak seperti biasanya, saya itu bukan baru kenal kamu loh, Sri. Kamu gak bisa bohong sama aku, aku ini teman kamu.”
Tiba-tiba Feti menghampiri keduanya, dengan tingkah konyolnya nyerocos sana-sini. Santriwati satu ini sepaket dengan Qiki. Lebih tepatnya Qiki versi cewek.
“Ehhh tau gak kalian? tadi siang aku itu kan, diajak Ustadzah Nisa ke pasar. Tau gak? aku liat gaun-gaun cntik lho, kayak gaun Cinderella, dan putri kerajaan itu lho. Pokoknya bagus… banget.”
Vey menggelengkan kepalanya. Heran.
“Fet … sssstt…!” teriak Vey sambil mengacungkan telunjuk di depan bibirnya.
“Apaan sih Vey, kamu gak mau dengar curhatan senang saya? Kamu sirik?”
Vey tak ingin memperpanjang obrolannya dengan Feti, takkan ada habisnya jika ia terus menjawab pertanyaan dari Feti. Ia pun menarik tangan Feti dan membawa ke depan Sri yang sedang duduk membungkuk di teras mushollah.
“Ya Allah … kamu kenapa, Sri? sorry aku gak liat kalo kamu lagi sedih.”
Keduanya saling menyalahkan tanpa menghiraukan Sri yang sedang dirundung kesedihan. Meski sesekali Feti memancing Vey agar mau mendengarkan ocehannya, ia tetap acuh tak mau tahu dengan apa yang di ocehkan Feti.Keadaan di teras Mushollah semakin gaduh dengan adanya perang mulut antara Vey dan Fet memecah di udara.
Mendengar kegaduhan itu, Khumairah yang hendak beranjak dari dalam Mushollah menuju rumahnya, sejenak berhenti di kerumunan sahabat-sahabatnya itu yang sedang mengerumuni salah satu dari sahabatnya.
“Assalamualaikum,” terdenngar suara Khumairah putri bungsu Kiayi Amin yang sangat lembut tutur katanya
“Wa’alaikumsalam,” jawab serentak sahabat-sahabatnya itu.
Seketika kegaduhan yang terjadi di awal percakapannya, terlerai oleh salam dari Khumairah.
Kini hening yang didapat, tak ada satu kata yang terdengar, hanya kerikan sayap jangkrik yang mengisi heningnya percakapan yang terlanjur tak tersambung.
Semakin hening suasana di teras mushollah semakin memberi ruang di telinga bagi kerikan jangkrik kebun mushollah.
“Ada apa ini? Kenapa dengan Sri, kelihatannya ada yang berbeda dengannya?” ucap Khumairah, mencoba memulai percakapan.
“Ini Ra, Sri lagi sedih. Si Fet malah curhat-curhat gak jelas gitu” jawab Vey dengan sedikit kesal.
Sri tak bisa membuka mulutnya meski dalam satu ucapan. Ketiga sahabatnya semakin merasa bahwa Sri benar-benar dalam sebuah masalah. Khumairah tetap berusaha membujuk Sri untuk mau bicara tentang masalahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khumaira
Teen FictionCinta bukan hanya menaruh rasa kemudian membiarkan tumbuh begitu saja, melainkan memupuknya dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan keyakinan akan apa yang telah Tuhan tumbuhkan, hingga kelak buah manis akan dipetik.