14. Kami Bertemu Domba Pembawa Malapetaka

127 35 2
                                    

Saat kau memikirkan "pulau monster", kau akan berpikir tebing-tebing terjal dan tulang belulang berserakan seperti pulau para Siren. Pulau Cyclops sama sekali tak seperti itu. Maksudku, oke, memang ada jembatan tali membentangi jurang, yang bukan pertanda baik. Sekalian saja kau pasang papan reklame bertuliskan, ADA SESUATU YANG JAHAT MENDEKAM DI SINI. Tapi selain dari itu, tempat itu kelihatan seperti pemandangan yang ada dalam kartu pos Karibia. Pulau itu memiliki padang padang hijau dan pohon-pohon buah tropis dan pantai pasir putih.

Saat kami berlayar menuju tepi pantai, Seulgi menghirup udara segarnya. "Bulu Domba Emas," serunya. Aku mengangguk. Aku belum bisa melihat bulu dombanya, tapi aku bisa merasakan kekuatannya. Aku yakin ia dapat menyembuhkan segalanya, bahkan pohon Jeongyeon yang diracun. "Kalau kita mengambilnya, apakah pulaunya akan mati?"

Seulgi menggelengkan kepalanya. "Khasiatnya hanya akan pudar. Pulau akan kembali ke kondisi normalnya, bagaimana pun itu."

Aku merasa agak bersalah harus menghancurkan surga ini, tapi aku ingatkan diriku sendiri bahwa kami tak punya pilihan. Perkemahan Blasteran sedang terancam. Dan Tyson ... Tyson tentu masih akan bersama kami kalau bukan karena misi ini. Di padang rumput di dasar air terjun, beberapa lusin domba sedang merumput di sekitarnya. Mereka tampak cukup damai, tapi badan mereka sangat besar—seukuran kuda nil. Di belakang mereka ada jalan setapak yang mengarah ke bebukitan. Di puncak jalan setapak, dekat ujung jurang, ada pohon ek besar yang pernah kulihat dalam mimpiku. Sesuatu berwarna emas berkerlip di dahan-dahannya. "Ini terlalu gampang," kataku. "Kita bisa naik saja ke atas sana dan mengambilnya?"

Mata Seulgi menyipit. "Mestinya ada penjaganya. Seekor naga atau ..." Saat itulah seekor rusa muncul dari semak-semak. Ia menderap ke padang rumput, barangkali mencari rerumputan untuk dimakan, saat kesemua domba mengembik bersamaan dan mengejar hewan itu. Kejadiannya begitu cepat saat rusa itu terhuyung dan terbenam dalam lautan bulu domba dan terinjak-injak kaki-kaki domba. Rumput dan gumpalan bulu-bulu domba beterbangan di udara. Sedetik kemudian semua domba menyebar pergi, kembali ke tempat merumput mereka dengan damai. Tempat rusa itu berada tadi telah berubah jadi tumpukan tulang-belulang putih bersih.

Seulgi dan aku bertukar pandang. "Mereka kayak piranha," katanya.

"Piranha berbulu domba. Bagaimana kita akan—"

"Jimin!" Seulgi terengah, menarik tanganku. "Lihat." Dia menunjuk ke pantai bawah, tepat di bawah padang domba, tempat sebuah perahu kecil mendarat ... sekoci penolong lain dari CSS Birmingham.

Kami putuskan tidak mungkin kami bisa melewati domba-domba pelahap manusia. Seulgi ingin berjalan mengendap melewati jalan setapak secara tak kasat mata dan merebut Bulu Domba itu, tapi pada akhirnya aku meyakinkan dirinya bahwa rencana itu tak akan berjalan dengan baik. Domba-domba itu akan mengendus baunya. Penjaga lain akan muncul. Entah apa sosoknya. Dan kalau itu terjadi, aku akan berada terlalu jauh untuk menolong. Lagi pula, tugas pertama kami adalah menemukan Grover dan siapa pun yang mendarat dalam sekoci itu—dengan dugaan kalau mereka berhasil selamat melewati domba-domba itu. Aku terlalu takut untuk mengatakan apa yang diam-diam kuharapkan bahwa Tyson barangkali masih hidup. Kami menambatkan Dendam Kesumat Ratu Anne di sisi belakang pantai tempat tebing-tebing menjulang hingga enam puluh meter. Kuduga kapal itu tak akan terlalu terlihat dari sana. Tebing-tebing itu kelihatan bisa dipanjat, meski sulit—mungkin sesulit memanjat tembok lahar yang ada di perkemahan. Setidaknya tebing-tebing itu bebas dari domba. Kuharap Polyphemus juga tak memelihara kambing-kambing gunung pemakan daging. Kami melayari sekoci ke tepi bebatuan dan mulai memanjat, dengan sangat perlahan. Seulgi memanjat lebih dulu karena dia pemanjat yang lebih jago. Kami hanya nyaris menemui maut enam atau tujuh kali, yang kupikir cukup lumayanlah. Sekali, aku kehilangan peganganku dan aku bergelantungan dengan bertahan pada satu tangan di pinggir tebing setinggi lima belas meter di atas ombak ganas. Tapi aku menemukan pegangan lain dan meneruskan panjatan. Semenit kemudian Seulgi menginjak sepetak lumut licin dan kakinya tergelincir. Untungnya, dia menemukan pijakan lain untuk diinjak. Sayangnya, pijakan lain itu adalah mukaku. "Maaf," gumamnya.

Adventures of the Demigod #2 (k-idol)Where stories live. Discover now