Beberapa hari berikutnya adalah siksaan, persis seperti yang Tantalus inginkan.
Pertama, ada Tyson yang pindah ke kabin Poseidon, cekikikan sendiri setiap lima belas detik sambil berseru, "Jimin saudaraku?" seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah lotre.
"Oh, Tyson," kataku. "Nggak sesederhana itu." Tapi susah sekali untuk menjelaskan padanya. Dia sudah berada di langit ketujuh. Dan aku sendiri ... meski aku senang dengan si jagoan itu, aku tak bisa menahan rasa maluku. Rasa terhina. Nah tuh, sudah kukatakan. Ayahku, sang Poseidon yang sangat berkuasa, bisa tergila-gila pada arwah liar, dan Tyson adalah akibatnya. Maksudku, aku sudah mendengar mitos-mitos tentang Clyclops. Aku bahkan ingat bahwa mereka sering kali adalah anak-anak dari Poseidon. Tapi aku tak pernah benar-benar merasa bahwa itu berarti mereka adalah keluargaku. Sampai aku mendapati Tyson tinggal bersamaku di tempat tidur sebelah. Dan lalu ada komentar-komentar miring dari para pekemah lain. Tiba-tiba, aku bukanlah Park Jimin lagi, anak keren yang telah mengembalikan petir Zeus musim panas lalu. Sekarang aku adalah Park Jimin, anak malang yang memiliki saudara monster jelek.
"Dia bukan saudara kandungku!" Aku selalu protes kapan pun Tyson sedang tidak ada. "Dia itu seperti saudara tiri dari sisi keluarga monster. Seperti saudara tiri dua kali, atau kayak gitu deh." Tak ada yang mendengarnya. Kuakui—aku marah pada ayahku. Aku merasa, menjadi anaknya kini bagai suatu lelucon. Seulgi berusaha menghiburku. Dia menyarankan agar kami membentuk satu tim dalam perlombaan kereta tempur untuk mengalihkan pikiran kami dari masalah itu. Jangan salah kira dulu—kami berdua sangat membenci Tantalus dan kami sangat mencemaskan kondisi perkemahan—tapi kami tak tahu apa yang harus kami perbuat. Sampai kami mendapatkan rencana brilian untuk menyelamatkan pohon Jeongyeon, kami pikir alangkah baiknya jika kami ikut serta dalam perlombaan. Lagi pula, ibu Seulgi, Athena, adalah pencipta kereta tempur, dan ayahku sendiri telah menciptakan kuda-kudanya. Bersama-sama kami akan memenangi lomba itu.
Satu pagi Seulgi dan aku sedang duduk di tepi danau kano menggambar sketsa rancangan kereta tempur ketika beberapa pelawak dari kabin Aphrodite lewat dan bertanya padaku jika aku perlu meminjam pensil alis untuk satu mataku ... "Eh sori, matamu ada dua yah."
Saat mereka berlalu sambil tertawa cekikikan, Seulgi menggerutu, "Abaikan saja mereka, Jimin. Bukan salahmu kau punya saudara seorang monster."
"Dia bukan saudaraku!" bentakku. "Dan dia juga bukan monster!"
Seulgi menaikkan alisnya. "Hei, jangan marah sama aku dong! Dan teknisnya, dia memang seorang monster."
"Yah kau sendiri yang memberinya izin untuk memasuki perkemahan."
"Karena itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawamu!
"Maksudku ... maafkan aku, Jimin, aku nggak mengira Poseidon akan mengklaim dirinya. Cyclops adalah makhluk yang paling licik, curang—"
"Dia nggak kayak gitu! Kenapa sih kamu sebegitu bencinya pada Cyclop?"
Kuping Seulgi memerah. Aku merasa ada sesuatu yang enggan dia ceritakan padaku—sesuatu yang buruk. "Lupakan saja," ujarnya. "Nah, as roda untuk kereta ini—"
"Kau memperlakukannya seolah dia makhluk yang mengerikan," kataku. "Dia menyelamatkan nyawaku."
Seulgi meletakkan pensilnya dan berdiri. "Kalau begitu mungkin sebaiknya kau merancang kereta ini dengan-nya."
"Mungkin memang seharusnya begitu."
"Oke!"
"Oke!" Dia melangkah pergi dengan gaduh dan meninggalkanku yang merasa lebih buruk dari sebelumnya.
Dua hari kemudian, aku berusaha tak memikirkan tentang masalahku. Kim Jisoo, salah satu gadis yang baik dari kabin Aphrodite, memberiku pelajaran menunggang pertamaku dengan pegasus. Dia menjelaskan bahwa hanya ada satu kuda-bersayap kekal bernama Pegasus, yang masih mengembara bebas di suatu tempat di langit, dan meskipun setelah sekian abad ia telah memiliki banyak anak, tak ada satu pun yang secepat atau seheroik ayahnya, tapi semuanya diberi nama mengikuti sang Pegasus yang utama dan terhebat. Sebagai putra Dewa Laut, aku tak pernah suka pergi ke langit. Ayahku memiliki persaingan dengan Zeus, jadi aku berusaha menjauh dari teritori dewa langit sebisa mungkin. Tapi mengendarai kuda bersayap terasa berbeda. Ia tidak membuatku setegang seperti saat berada dalam pesawat terbang. Barangkali itu karena ayahku telah menciptakan kuda-kuda dari buih lautan, jadi pegasus ini bisa dibilang semacam ... teritori netral. Aku bisa memahami pikiran mereka. Aku tak terkejut ketika pegasusku melompat ke pucuk pepohonan atau mengejar sekawanan burung camar ke balik awan. Masalahnya adalah Tyson juga ingin menunggangi "kuda poni ayam", tapi pegasus itu ketakutan setiap kali Tyson mendekat. Aku mengatakan pada mereka melalui telepati bahwa Tyson tak akan melukai mereka, tapi sepertinya mereka tak memercayaiku. Itu membuat Tyson menangis. Satu-satunya orang di perkemahan yang tidak memiliki masalah dengan Tyson adalah Boby dari kabin Hephaestus. Dewa pandai besi selalu bekerja dengan para Cyclops dalam tempat penempaannya, maka Boby mengajak Tyson ke gudang persenjataan untuk mengajarinya kerajinan logam. Dia bilang dia akan membuat Tyson pandai menciptakan barang-barang ajaib, bagaikan seorang ahli, dalam waktu singkat. Usai makan siang, aku berlatih di arena bersama dengan para penghuni kabin Apollo. Bermain pedang sudah menjadi kelebihanku. Orang-orang bilang aku lebih mahir dalam bermain pedang dibanding pekemah mana pun dalam ratusan tahun terakhir, kecuali mungkin Taemin. Orang-orang selalu membandingkan aku dengan Taemin. Aku mengalahkan anak-anak Apollo dengan begitu mudahnya. Seharusnya aku menguji diriku melawan penghuni kabin Ares dan Athena, mengingat mereka memiliki petarung pedang terbaik, tapi aku tak akur dengan Krystal dan saudara-saudaranya, dan setelah pertengkaranku dengan Seulgi, aku sama sekali tak ingin bertemu dengannya. Aku pergi ke kelas memanah, meski aku buruk dalam memanah, dan kelas itu terasa berbeda tanpa pengajaran Chiron. Dalam pelajaran seni dan kerajinan, aku mencoba membuat patung kepala dan dada Poseidon dari batu pualam, tapi patung itu mulai menyerupai Sylvester Stallone, jadi aku tinggalkan saja. Aku mendaki tembok panjat lengkap dengan semburan lahar dan gempa bumi. Dan di malam harinya, aku melakukan patroli perbatasan. Meskipun Tantalus telah mendesak agar kami melupakan upaya melindungi kemah, sebagian pekemah diam-diam tetap melakukannya, membuat jadwal di waktu-waktu luang kami. Aku duduk di puncak Bukit Blasteran dan memandang para peri pohon datang dan pergi, bernyanyi ke pohon pinus yang tengah sekarat. Para satir membawa seruling mereka dan memainkan lagu-lagu sihir rimba, dan untuk sementara daun-daun pinusnya tampak melebat. Bunga-bunga di bukit berbau lebih manis dan rerumputannya tampak menghijau. Tapi segera setelah musik berhenti, penyakit itu merayap kembali ke udara. Sepenjuru bukit tampak tertular, sekarat dari racun yang telah menyerap ke akar pohon. Semakin lama aku duduk di sana, semakin marah aku jadinya. Taemin telah mengakibatkan hal ini. Aku ingat senyum liciknya, codet cakar-naga yang melintang di wajahnya. Dia berpura-pura menjadi temanku, dan selama itu diam-diam dia telah menjadi pengabdi Kronos nomor wahid. Aku membuka telapak tanganku. Luka yang diberikan Taemin padaku musim panas lalu perlahan memudar, tapi aku masih dapat melihatnya—luka berbentuk bintang bekas sengatan kalajengking. Aku berpikir akan apa yang Taemin katakan padaku sebelum dia mencoba membunuhku: Selamat tinggal, Jimin. Ada Zaman Emas baru yang akan datang. Kau tak akan menikmatinya.
YOU ARE READING
Adventures of the Demigod #2 (k-idol)
AventuraSetelah menghabiskan musim panas lalu berjuang mencegah meletusnya peperangan besar antar para dewa dengan mencari petir asali Dewa Zeus, Park Jimin ternyata belum bisa menikmati ketenangan. Kali ini dia kewalahan menghadapi teman barunya, Tyson, re...