PAGE 4

1.1K 80 1
                                    

Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang ditumpahkan Allison serta jeritan dan teriakan pilu yang meyayat hati yang keluar dari tenggorokannya hingga suaranya hilang.

Dia tidak mengerti kenapa dia harus kehilangan segalanya; orang tuanya, anaknya dan sekarang calon suaminya.

Sebuah trailer dari arah yang berlawanan oleng dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobil William padahal pria itu sedang menyetir dengan santai dan stabil. Tidak ada yang bisa memprediksi usia seseorang, bukan? Pria muda yang tampan dan gagah itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya saat perjalanan ke rumah sakit.

Tanpa ada kata-kata atau sentuhan perpisahan kepada keluarganya dan calon istrinya.

Allison terpekur menatap tanah kemerahan di hadapannya. Tangisnya pecah saat peti putih dengan ukiran emas yang indah dan anggun itu diturunkan ke dalamnya, serta ketika bongkahan demi bongkahan tanah ditimpakan kepadanya. Dia tidak akan siap, tidak akan pernah bisa mengucapkan selamat tinggal pada pria yang sangat dicintainya.

Dia mengacuhkan tatapan simpati dari orang-orang yang ada di sekitarnya, dia juga tidak peduli jika air matanya sudah membasahi blus Mia maupun Aunt Holy yang memeluknya seharian ini. Keluarganya segera datang ketika mendengar kabar mengerikan itu untuk menghiburnya, tapi dia tidak mau dan tidak akan bisa ditenangkan dengan kehadiran siapapun.

Sebuah sentuhan di tangannya menyadarkannya. Allison mengangkat kepalanya dan menatap Caroline. Mata kedua wanita itu sama-sama basah dan bengkak. Allison melepaskan diri dari pelukan Mia hanya untuk berpaling kepada dekapan seseorang yang seharusnya menjadi ibu mertuanya. Tubuh mereka bergetar, perasaan mereka sama; nyaris meledak karena tidak memiliki kekuatan lagi untuk menahan semua rasa pedih dan kehilangan yang mendalam.

"Puteraku sangat mencintaimu, nak."

Allison tidak sanggup menjawab. Air matanya mengalir deras.

"Aku tahu ini sangat berat, tapi kamu masih muda. Kamu harus kuat. Tetaplah tegar."

Wanita muda itu menggelengkan kepalanya, dia tahu dia tidak punya kekuatan lagi.

"Aku mohon, demi William." Caroline membelai kepala Allison dengan penuh kasih sayang, dia sudah menganggapnya sebagai puterinya sendiri meskipun harapan untuk menjadi ibu sesungguhnya sudah pupus. "Selamanya kamu puteriku, Allison. Selamanya."

***

Suasana tempat pemakaman itu sudah sepi. Para keluarga dan tamu sudah meninggalkan tempat itu, menyisakan dua pria muda yang berpostur tinggi dan berpakaian serba hitam sedang termangu di depan nisan yang baru saja dipancangkan.

Keduanya terdiam, raut wajah mereka sangat terpukul.

Setelah sekian lama, seseorang menoleh kepada saudaranya yang masih berdiri dalam hening.

"Kamu tidak mau menemuinya?"

Sang pria yang satu lagi terdiam dan akhirnya menggelengkan kepalanya.

"Kamu yakin? Aku tahu kamu sangat merindukannya."

"Ini bukan saat yang tepat, Josh."

"Lalu apakah kamu akan menemuinya nanti?"

"Aku rasa tidak."

"Dam?"

"Tidak, Josh, tidak. Bukan aku yang dia butuhkan."

"Tapi..."

Damian mengangkat tangannya, memberikan kode kepada sepupunya untuk tidak meneruskan kata-katanya. Joshua mengerti dan merapatkan mulutnya.

"Kamu masih ingin disini?"

"Ya, pergilah, aku akan menyusul nanti."

"Baiklah...aku duluan ya?"

Damian hanya mengangguk, mempersilahkan Joshua untuk meninggalkannya, menyusul Penny dan Rowan yang menunggu mereka di ujung taman.

Pria itu masih memandangi makam berserta nisan yang berukirkan nama sahabatnya. Tubuhnya mulai bergetar dan dia tidak sanggup lagi menahan amarah dan kekecewaannya.

"Kenapa kamu harus pergi?! Harusnya kamu lihat wajahnya yang sangat sedih dan putus asa itu! Siapa yang tega melihatnya?!!"

Damian mendengus. Matanya mulai terasa panas. Suaranya serak dan terdengar putus asa.

"Dia sangat membutuhkanmu, Will! Dia sangat mencintaimu dan cuma kamu yang pantas untuknya!!"

Air mata mulai menetes di pipinya.

"Sialan!! Kamu bego, Will! Bodoh! Kamu sudah punya wanita yang baik tapi kenapa kamu meninggalkan dia? Meninggalkan kami seperti ini?!"

Lututnya menghantam tanah ketika meraungkan kata-katanya dengan geram.

"Arrgghh!!!"

Darah mengalir dari genggaman tangannya. Dia meninju granit yang kokoh itu dan melukai dirinya sendiri tapi dia tidak peduli. Bahunya bergerak naik turun ketika erangannya berubah menjadi tangisan.

"Will, kamu tahu?", Bisiknya lirih setelah emosinya mulai mereda, "Aku masih mencintainya, tapi aku tidak akan bisa menjaganya...aku takut akan menghancurkannya lagi. Maafkan aku. Aku tidak bisa."

SWEET FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang