"Hai, hai, hai... Kembali lagi bersama gue...Haris Aditya dan..."
"Gue Biru Samudra."
"Jadi sekarang, langsung aja kita masuk ke segmen...Real Kita! Wohoo!!!"
Ruang siaran radio siang itu kembali berisik setelah dibukanya sebuah segmen yang dibawakan oleh Haris dan Biru. Kedua insan itu memang selalu dinantikan oleh para pendengar setia radio. Terutama Biru. Bahkan, kini sudah mulai banyak komunitas yang menobatkan diri sebagai pengagum suara Biru.
"Oke, seperti biasa, kali ini kami akan membacakan salah satu surat yang udah dikirim ke kami. So, udah siap menyimak surat yang bakal dibacain oleh Biru? Okey, happy listening!"
Biru tersenyum seraya menundukkan kepalanya. Ia sudah siap membacakan sebuah surat. Sebelum mulai membaca, ia berdeham kecil untuk memastikan bahwa suaranya tidak serak.
"Gue mulai ya...
Dear diary...
Saat menulis surat ini, aku sedang tersenyum bodoh. Ya, karena aku tidak berani membuka diriku kepada siapa pun. Aku hanya akan menuangkan segala perasaanku di lembaran kertas ini, lewat tulisan tanganku.
Mungkin, sudah berkali-kali aku menulis tentang dia di buku ini. Namun aku tidak bosan. Kali ini aku akan menulis lagi berhubung masa SMA akan segera selesai.
Dia... Saat mendengar namanya, aku selalu teringat dengan indahnya dermaga berpadu langit cerah yang sangat kusukai. Bahkan saat aku sendiri pun, aku selalu teringat dengannya. Puncaknya adalah ketika dia bernyanyi di pensi saat pergantian semester kemarin. Ya, lagi-lagi aku jatuh padanya untuk kesekian kalinya.
Kurasa bukan hanya karena hal itu aku jatuh, namun, aku sudah mengenalnya selama 10 tahun lebih. Dia orang yang baik. Bahkan, aku semakin menyadarinya saat kami saling menceritakan impian masing-masing di atas mercusuar. Dia dengan sabar mendengarkan ceritaku dan menjadi orang yang paling bersemangat dengan impianku.
Tapi kini...masa SMA hampir habis. Kami juga akan pergi dengan jalan masing-masing. Haruskah aku melupakannya? Atau haruskah aku mengungkapkan semuanya?
Mungkin, lagi-lagi, aku hanya akan menyimpannya di buku usang ini. Tapi, kali ini, aku akan mengatakan satu hal yang belum pernah aku ungkapkan sebelumnya, bahkan pada buku ini.
Biru Samudra, aku telah jatuh hati padamu."
"Whoaaa!" teriak Haris begitu Biru menyelesaikan membaca surat itu.
Sementara itu, Biru tampak tidak percaya. Bahkan, ia terlihat salah tingkah saat melipat kembali surat tersebut.
"Ru, lo serius punya cerita kayak gitu? Apa lo inget dia siapa?" tanya Haris, ia benar-benar penasaran.
"Gue emang pernah nyanyi di pensi, juga pernah pergi ke mercusuar bareng temen-temen. Tapi...gue nggak tau pasti siapa pemilik surat ini," jawab Biru. Ia masih sedikit syok setelah mendapati bahwa surat yang ia baca ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Yahh... Pendengar kecewa. Padahal, kalau lo tahu, pasti bakal menarik banget. Apalagi kalau ternyata pengirim surat itu juga lagi dengerin kita. Lo sih...gak peka!" celetuk Haris.
"Apaan sih, lo? Ya udah, kita tutup, gih!" sahut Biru.
***
Hari itu menjadi hari yang tak akan terlupakan bagi Biru setelah sekitar tiga tahun ini menjadi penyiar radio di Swaraloka. Bagaimana tidak, selama menjadi pengisi segmen Real Kita, baru kali ini ia membacakan surat yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Antara geli dan tidak percaya, tapi hal itulah yang dialami Biru hari itu. Bohong jika laki-laki 21 tahun itu tidak kepikiran dengan isi surat tersebut. Namun, ponsel miliknya benar-benar menggoda untuk ia cek. Sebegai generasi millennial, tentu saja Biru tidak pernah bisa lepas dari ponsel. Jadi, pikirannya teralihkan sebentar oleh puluhan notifikasi yang masuk ke ponselnya.
Bima Bantet: Five missed calls
Biru mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya teman seperjuangannya sejak masih buluk ini menelponnya sebanyak lima kali di jam-jam siaran. Ia pun menelpon Bima balik. Tak butuh waktu lama, Bima langsung mengangkatnya.
"Assalamualaikum, ada apa Bro?" tanya Biru.
"Waalaikumussalam. Gini Bro, bulan ini, Ara dah bisa wisuda. Lo bisa nyempatin dateng, kan?" balas Bima dari seberang.
Secara otomatis, senyum terbentuk di wajah Biru. Ara sendiri adalah sahabat Biru sejak masih piyik bersama Bima, Awan, dan Kia. Di antara mereka berlima, kecerdasan Ara memang yang paling menonjol. Bahkan, gadis itu sempat mendapat tawaran beasiswa ke luar negeri. Namun, akhirnya Ara berkuliah di UI jurusan Ilmu Komunikasi.
Kini, ia barus saja mendapat berita bahwa gadis itu sebentar lagi akan diwisuda. Walaupun semenjak lulus SMA mereka jarang bertemu, namun, Biru tahu pasti bagaimana perjuangan Ara dalam mengejar titel S1-nya. Bahkan, di sela padatnya jadwal kuliah, anak itu masih sempat bekerja part time di salah satu restoran.
"Gue pasti dateng," tegas Biru.
YOU ARE READING
Jika Langit Tak Sebiru Hari Ini
Ficção AdolescenteLangit tak selalu biru. Akan tetapi, langit juga tak selalu mendung. Ara lebih menyukai langit biru. Tapi, itu tidak datang setiap hari, bukan? Oleh karena itu, Ara selalu menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya, termasuk mensyukuri keberadaan emp...