Bab 7

2.3K 271 3
                                    

Ingatan Rayya melayang kekejadian enam tahun silam. Bapaknya langsung membawanya ke-dealer untuk memilih langsung mobil yang diinginkannya begitu ia dinyatakan berhasil masuk Universitas terbaik di kotanya dengan jurusan sesuai keinginan bapaknya. Dan Rayya langsung jatuh cinta saat melihat Ford Fiesta berwarna hitam itu. Namun tidak ada yang gratis dalam kamus bapaknya. Rayya berhak mendapatkan mobil mewah itu saat ia mengikuti semua kemauannya. Dan sekarang? Ah, sudahlah. Bukankah Rayya sudah memilih. Dan ia bahagia dengan pilihannya.

"Kopi sidikalang buatanmu memang nggak ada duanya deh, Nit." Dihirupnya lagi aroma kesukaannya itu sebelum akhirnya menatap perempuan bermata tajam yang sedang menatapnya dengan pandangan menyelidik.

"Abram mana, kok nggak nyanyi?" Rayya masih berusaha mengalihkan fokus Nita.

"Udah pulang. Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, ya. Aku kenal ekspresi gelisahmu itu bahkan dalam jarak satu setengah kilometer. Ada apa?"

Nah, kan? Paling susah memang menutupi sesuatu dari Nita.  Rayya terdiam. Dicuilnya pinggiran donat kemudian mencelupkannya ke kopi sebelum akhirnya memasukkan ke mulutnya. Melihat itu Nita memukul lengan Rayya. Gadis itu selalu menegur Rayya setiap kali ia melakukan hal itu. Kampungan, ujarnya. Namun, menurut Rayya itu cara terkeren menikmati kopi dan donat.

"Cepetan cerita!" Mengalihkan keingintahuan Nita memang tidak pernah mudah.

Baiklah, sepertinya Rayya  tidak bisa mengelak lagi. Bukankah akhirnya ia memang harus bercerita. Barangkali Nita bisa membantunya.

"Pak Samsul menjual lahan TK, Nit. Ngomongnya tadi pas anak-anak sudah pulang semua," ujar Rayya akhirnya. Suaranya pelan dan parau. Wajahnya muram, bahunya lunglai tak berdaya menunjukkan betapa berat beban yang sedang dipikulnya.

Nita menatap gadis di depannya. Setelah satu setengah tahun berlalu akhirnya Nita melihat ekspresi itu lagi. Ekspresi tertekan yang ditunjukkan Rayya setiap kali bapaknya menyampaikan semua keinginanya kepada gadis itu. Dan Rayya tidak pernah bisa atau mungkin tidak berani mengungkapkan penolakannya.

"Dua minggu lagi dokter yang membeli lahan itu akan membayar lunas sesuai harga yang diminta Pak Samsul. Kamu tahukan artinya apa? Aku dan guru lain harus segera meninggalkan lokasi itu. Bayangin, dua minggu Nit. Apa yang bisa kulakukan dalam waktu dua minggu?!"

Nita menatap gadis di depannya. Ditariknya napasnya perlahan. Dua minggu?  Rayya benar, apasih yang bisa dilakukannya dalam waktu sesingkat itu.

"Kamu minta bantuan mamamu aja. Ia pasti mau membantu. Mamamukan duitnya banyak." Setelah tidak tahu lagi apa yang harus diucapkannya Nita akhirnya memberi saran yang pasti ditolak Rayya.

Rayya langsung melotot mendengar saran Nita. Tuh kan!

"Kenapa melotot, kamukan anaknya? Kalau cuma beli lahan segitu mah gampang. Siapa sih yang nggak tahu keluarga Aswin Ginting dan Siska Pasaribu." Nita mengalihkan tatapannya dari Rayya. Ia tahu sampai kapan pun Rayya tidak akan mengikuti saran gak jelasnya itu.

"Seluruh dunia juga nggak akan membantah kalau aku anak dari Aswin Ginting dan Siska Pasaribu. Jelas-jelas ada marga Ginting di belakang namaku. Tapi, sampai kapan pun aku tidak akan menuruti saran gak jelasmu itu," ucap Rayya sambil menatap Nita dengan kesal.

"Nah itu, karena kamu anaknya Aswin Ginting, pemilik perusahaan pengolahaan minyak yang istrinya seorang dokter gigi terkenal di kota ini, seharusnya nggak perlu panik begitu. Tinggal temui bapak atau mamamu, wusss masalah selesai," ujar Nita sambil melambaiankan tangannya di depan Rayya.

"Aku benci saranmu," ucap Rayya sambil mengalihkan pandangannya ke arah taman.

"Ray, sorry kalau saranku terdengar nggak mungkin. Tapi apa salahnya mencoba?"

"Bapakku bukan Om Idrus, ayahmu. Beliau melakukan apa pun asalkan kamu bahagia. Ia selalu ada untuk mendukungmu. Bahkan ia tidak memaksa kamu masuk jurusan manajemen agar bisa menggantikan posisinya di perusahaan. Sementara aku?  Bertahun-tahun aku melakukan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan aku capek. TK Mandiri akan tetap beroperasi. Tapi bukan dengan campur tangan bapakku" ucap Rayya dengan suara bergetar. Bayangan masa kecilnya yang penuh larangan kembali berkelebat. Nita mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Rayya.

"Sorry, Ray," ujarnya penuh rasa bersalah. "Aku hanya ingin kamu berdamai dengan Om Aswin. Bagaimanapun beliau itu ayahmu."

"Tidak apa-apa. Suatu saat aku akan menemui bapak tapi bukan sekarang apalagi dalam keadaan ingin meminta bantuan, aku tidak akan melakukannya," ujar Rayya penuh tekanan dan tekat. 

Wonderful PlaygroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang